Oleh Sugiyanta
PENGERTIAN QUNUT
Qunut yang dimaksud di sini adalah doa dalam sholat yang tempatnya khusus ketika berdiri (lihat terjemahan Shalat Tathawu, Mafhumun, wa Fadhailun, wa Anwa’un, wa Adabun fi Dhauli Kitabi was Sunah, Dr. Shaid bin Ali bin Wahf al-Qathani, Darul Haq, Jakarta, 2003, hal. 66)
KEDUDUKAN HADIST TENTANG QUNUT SHALAT SHUBUH
Anas bin Malik radlialhu 'anhu berkata:
مَازَلَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه و سلام يَقْنُتُ فِي صَلاَةِ الْغَدَاتِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam selalu melakukan qunut pada shalat shubuh sampai meninggal dunia.” (HR Abdur Razaq – Mushanaf 3/110 no. 4964, Ibn Abi Syuaibah – Mushanaf 2/312, at-Thahawi – Syarhu Ma’anil Atsar, Ahmad 3/162, al-Hakim, Baihaqi 2/201 dll). Dalam sanadnya ada Abu Ja’far ar-Razi (Isa bi Mahan). Dan tentangnya, Ahmad bin Hanbal dan Nasa’I menilai dia rawi yang tidak kuat. Ibn Hibban menilai dia meriwayatkan hadist-hadist mungkar dari orang-orang terkenal, Ibn Hajar berkata bahwa Abu Ja’far shaduq, jelek hafalannya. Senada seperti diatas menurut ulama-ulama hadist lainnya seperti Ibn al-Jauzi, Ibn Taimiyah, Ibn Qayim, al-Mubarakfuri dan al-Albani. Kesimpulannya hadist diatas munkar (hadist dhaif (lemah) yang menselisihi hadist shahih (lihat Nuhbatul Fikar, Ibn Hajar hal. 88-89)) menurut Imam Nashiruddin al-Albani. Sehingga hadist diatas tidak bisa dijadikan dalil.
Dari Ismail bin Muslim al-Maki dan Amr bin Ubaid dari al-Hasan al-Bashri dari Anas bin Malik, dia berkata:
قَتَنَ رَسُولُ الله صلى الله عليه و سلام وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ – وَأَحْسِبُهُ قَالَ رَابِعٌ – حَتَّى فَارَقْتُهُمْ
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam , Abu Bakr, Umar dan Ustman – (Al-Hasan al-Bishri) berkata, “Saya kira dia (Anas bin Malik) menyebutkan yang keempat (Ali) – melakukan qunut hingga aku berpisah dengan mereka (mereka meninggal). (HR Baihaqi)
Tentang Ismail bin Muslim dan Amr bin Ubaid, Baihaqi berkata, “Kami tidak berhujjah dengan Ismail bin Muslim dan Amr bin Ubaid. Al-Albani mengatakan, “Ismail hadistnya dhaif.” Al-Khathib berkata dalam al-Kifayah 372, “Dia hadistnya matruk (ditinggalkan). An-Nasa’i dan banyak ulama yang lain mengatakan yang serupa. Sedangkan Amr bin Ubaid tertuduh berdusta, apalagi ia seorang Mu’tazilah. Adapun tentang al-Hasan al-Bashri walaupun diakui kemuliaannya namun dia seorang mudalis. Maka hadist ini wajib ditinggalkan (lihat Majalah al-Furqan, Edisi 5 th. III hal. 3).
Dikeluarkankan oleh al-Khathib dari riwayat Dinar bin Abdullah, pelayan Anas bin Malik, dari Anas bin Malik, berkata:
مَازَالَ رسول الله صلى الله عليه و سلام يقنت في صلاة الغدات حتى مات.
Rasulullah selalu qunut pada shalat shubuh sampai meninggal dunia (HR al-Khatib).
Ibn Hibban berkata, “Dia (Dinar bin Abdullah) banyak meriwayatkan atsar (perkataan) palsu dari Anas yang selayaknya tidak ditorehkan di dalam kitab kecuali dia dicela”. (lihat Majalah al-Furqan, Edisi 5 th. III hal. 3).
Kesimpulan:
Hadist yang menyebutkan qunut shubuh adalah dhaif bahkan munkar. Oleh karena itu tidak boleh dijadikan sandaran hukum (dalil). Maka bila qunut ini (khusus shalat shubuh) tetap diamalkan maka tergolong bid’ah.
BANTAHAN
Dari Abu Malik al-Asyja’i, ia berkata,
“Aku bertanya pada ayahku (Thariq bin Asyim),
يا أبةِ إِنَّكَ قدْ صليْتَ خلْف رسول اللهِ صلى الله عليه و سلام وأبي بكرٍ وعُمَرَ وعثْمانَ و عليِّ بن أبي طالب, هَا هُنا بِالْكُوفَةِ نَحْوًا مِن خمْسِ سِنِينَ أَكُانُوا يَقْنُتُونَ, قال أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ.
“Wahai Ayah, Engkau shalat di belakang Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam, Abu Bakr, Umar, Ustman, dan Ali bin Abi Thalib di Kufah selama lima tahun, apakah mereka melakukan qunut (Shubuh – dalam riwayat Ibn Majah)?” Jawan Thariq, “Wahai anakku itu perkara baru. (HR Tirmidzi 402, Ibn Majah 1241, Ahmad 3/472, Baihaqi 2/213 dan Nasa’I) Para ulama hadist menyepakati keshahihannya.
Dari Anas y :
أن رسول الله صلى الله عليه و سلام ِقَنَتَ شَهْرُا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِن أحياءِ الْعَرَبِ ثمَّ تَرَكَهُ
Bahwasannya Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam qunut selama sebulan (untuk) melaknat suatu kaum Arab kemudian ditinggalkan. (HR Bukhari dan Muslim: 1092)
Kesimpulan:
1. Hadist-hadist berkenaan qunut shubuh dhaif (lemah) sehingga tidak dapat dijadikan dalil.
2. Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa salam dan para sahabat melakukan qunut tidak terus menerus tetapi hanya apabila hanya saat terjadi musibah/perang (lih. Hadist Riwayat Abu Dawud dalam Kitab al-Witr hadist no 1443, Ahmad dalam Musnad I:301-302, Muslim dalam kitab al-Masaajid, 676, al-Khathib al Bahgdadi dalam Kitab Qunut, lihat juga HR Bukhari dan Muslim: 1092, 4560 )
3. Nabi r dan para sahabat kalaupun melakukan doa qunut tidak hanya pada shalat shubuh saja, tetapi juga pada shalat dzuhur, asar, maghrib dan isya”. (lihat HR Muslim hadist no 676, 678, HR Bukhari hadist no. 797, 1004, 4598,
4. Qunut dalam shalat shubuh selain pada hari terjadi musibah/perang adalah bid’ah (tidak ada contoh dari Nabi) (HR Tirmidzi 402, Ibn Majah 1241, Ahmad 3/472, Baihaqi 2/213 dan Nasa’I)
5. Adapun qunut yang bukan qunut nazilah (qunut karena ada bencana/perang) hanya dikerjakan pada saat sholat witir saja.(HR Ahmad I: 199, Abu Dawud dalam Kitab al-Witr, no 1425, An-Nasai dalam dalam kitab Qiyamul lail wa … no, 745 dan 1746, Tirmidzi hadist no 464 dll)
Adapun doa qunut dalam shalat witir adalah
Allahumah dinii fi man hadait, wa ‘aafini fi man ‘afait, wa tawallani fi man tawalait, wa baarikli fi maa a’thait, wa qinaa syarra ma qadhait, fa innaka taqdhi wa laa yuqdha ‘alaik, innahu laa yadzilu man walait, tabarakta rabbana wa ta’alat.(HR Tirmidzi hadist no 464)
Atau
اللهم إني أعوذ برضاك من سخطك, وبمعافاتك من عقوبتك, وأعوذ بك منك, لا أحصي ثناء عليك, أنت كما اثنيت على نفسك.
Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dengan keridlaanMu dari kemarahanMu, dengan keselamatanMu dari siksaMu. Aku berlindung kepadaMu dari diriMu. Tidak dapat kuhitung pujian kepadaMu, sebagaiman yang dapat Engkau lakukan kepada diriMu sendiri.(HR Ahmad dalam al-Musnad I: 96, an-Nasai dalam kitab Qiyamul lail … no 745 dan 1747, Abu Dawud dalam al-Witr no. 1427, at-Tirmidzi dalam ad-Da’awat no. 3566, Ibn Majah dalam Iqamatush Shalah … no 1179, dishahihkan Nashiruddin al-Albani dalam Irwaul Ghalil II: 175 no. 430)
Maroji’
1. Said bi Ali bin Wahf al-Qathani, Mafhumun, Dr., wa fadhailun, wa aqsamun, wa anwa’un, wa adabun, fi dhaulil kitabi was sunnah (terjemahan), Darul Haq, Jakarta, 2003.
2. Muhammad Nashiruddin al-Albani, Tamamul Minah 1 (terjemahan), MSP, Tegal, 2002.
3. Shalih bin Hganim as-Sadlan, Dr., Shalatul Jama’ah Hukmuha wa ahkamu wa tanbih “ala maa yaqa’u fiiha min bida’ wa akhtaa’ (terjemahan), at-Tibyan, Solo, 2003.
4. Majalah al-Furqan edisi 5 tahun III.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar