Kamis, 21 Juli 2011

Hukum: Orang yang Meninggalkan Puasa Ramadhan bukan Karena Keringanan atau Udzur


Hukum: Orang yang Meninggalkan Puasa Ramadhan
bukan Karena Keringanan atau Udzur
oleh Sugiyanta, S.Ag, M.Pd

Bagi orang yang tidak berpuasa pada bulan Ramadhan bukan karena keringanan (sakit, bepergian, lemah, usia tua, wanita hamil dan menyusui atau yang memang tidak boleh berpuasa seperti wanita yang sedang nifas atau menstruasi) ia wajib:
1.         Bertobat – minta pengampunan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
2.         Mengganti puasa sebanyak hari yang ia tinggalkan.

Hal ini berdasarkan hadist berikut:
مصنف ابن أبي شيبة - (ج 3 / ص 507) أبو خالد عن ابن عجلان عن المطلب بن السائب بن أبي وداعة عن سعيد بن المسيب قال : جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : إني أفطرت يوما من رمضان ، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم : " تصدق واستغفر الله وصم يوما مكانه ".
Mushnaf Ibn Abi Syaibah (3/507) – Dari Abu Khalid dari Ibn ‘Ijlan dari al-Muthalib bin as-Saib bin Abi Wada’ah dari Sa’id bin al-Musayyib, ia berkata: Seseorang mendatangi Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam, kemudian berkata: “Sungguh aku telah berbuka (tidak puasa) pada hari di Bulan Ramadhan.” Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepadanya: Engkau jujur, dan minta ampun lah kepada Allah, dan berpuasalah/gantilah puasa (untuk)hari yang tertinggal.”

Arti Bertobat dan Minta Pengampunan Kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala

Meninggalkan puasa dengan sengaja, pada hal tidak ada alasah sah menurut agama ini seperti karena sakit, bepergian, lemah, usia tua, hamil dan menyusui atau yang memang tidak boleh berpuasa seperti wanita yang sedang nifas atau menstruasi adalah dosa besar. Hal dapat juga diqiyaskan dengan bila kita meninggalkan shalat fardhu.
Dosa besar tersebut tergambar dalam perkataan Abdullah bin Mas’ud radliallahu ‘anhu seperti yang Imam Ibn Abi Syaibah riwayatkan dalam Mushnaf-nya berikut:

مصنف ابن أبي شيبة - (ج 2 / ص 516) حدثنا وكيع عن سفيان عن واصل عن مغيرة اليشكري عن بلال بن الحارث عن ابن مسعود قال من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يجزه صيام الدهر كله.
Mushnaf Ibn Abi Syaibah (2/516) – Waki’ menceritakan kepada kami, dari Sufyan dari Ashil dari Mughirah al-Yaskari dari Bilal bin al-Harist dari Ibn Mas’ud, ia berkata: “Siapa yang berbuka (tidak puasa) satu hari di bulan Ramadhan bukan karena rukhshah (keringanan), tidak cukup sebagai gantinya puasa satu tahun seluruhnya.” (Menurut Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim dalam Shahih Fiqh as-Sunnah, hadist ini Shahih).
Tentu saja perkataan Abdullah bin Mas’ud berdasarkan yang disampaikan Rasululllah shalallahu ‘alaihi wa salam. Karena Abdullah bin Mas’ud radliallahu terkenal dengan tekadnya menghidup-hidupkan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam.

Hadist-Hadist dalam Pertimbangan

سنن أبي داود - (ج 6 / ص 359) حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ ابْنِ مُطَوِّسٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ ابْنُ كَثِيرٍ عَنْ أَبِي الْمُطَوِّسِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ فِي غَيْرِ رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللَّهُ لَهُ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ صِيَامُ الدَّهْرِ
Sunan Abi Dawud (6/359) – Telah menceritakan Sulaiman bin Harb – Syu’bah – Muhammad bin Katsir dari Abi al-Muthawwis dari ayahnya dari Abi Hurairah, ia berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: Siapa yang berbuka (tidak puasa) satu hari di bulan Ramadhan bukan karena rukhshah (keringanan) yang Allah berikan keringanan kepadanya, tidak cukup sebagai gantinya puasa satu tahun seluruhnya.

مصنف ابن أبي شيبة - (ج 3 / ص 507) وكيع عن سفيان عن حبيب بن أبي ثابت عن ابن المطوس عن المطوس عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يجزه صيام الدهر ".
Waki’ dari Sufyan dari Habib bin Abi Tsabit dari Ibn al-Muthawwis dari  al-Muthawwis dari ayahnya dari Abu Hurairah, ia berkata: “Siapa yang berbuka (tidak puasa) satu hari di bulan Ramadhan bukan karena rukhshah (keringanan), tidak cukup sebagai gantinya puasa satu tahun.”

سنن ابن ماجه - (ج 5 / ص 180) حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ ابْنِ الْمُطَوِّسِ عَنْ أَبِيهِ الْمُطَوِّسِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ لَمْ يُجْزِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ
Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Ali bin Muhammad, mereka berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Sufyan dari Habib bin Abi Tsabit dari Ibn al-Muthawwis dari  al-Muthawwis dari ayahnya dari Abu Hurairah, ia berkata: “Siapa yang berbuka (tidak puasa) satu hari di bulan Ramadhan bukan karena rukhshah (keringanan), tidak cukup sebagai gantinya puasa satu tahun.”

مسند أحمد - (ج 19 / ص 372) حَدَّثَنَا وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ حَبِيبٍ عَنِ ابْنِ الْمُطَوِّسِ عَنِ الْمُطَوِّسِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ لَمْ يَجْزِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ

Musnad Ahmad (19/372) menceritakan kepada kami Waki’, ia berkata: Menceritakan kepada kami: Sufyan dari Habib dari Ibn al-Muthawwis dari  al-Muthawwis dari ayahnya dari Abu Hurairah, ia berkata: “Siapa yang berbuka (tidak puasa) satu hari di bulan Ramadhan bukan karena rukhshah (keringanan), tidak cukup sebagai gantinya puasa satu tahun.”

Hadist-Hadist di atas tidak lepas dari al-Muthawwis dan Ayahnya, berikut perkataan Imam Tirmidzi ketika mengomentari hadist tersebut:

سنن الترمذي - (ج 3 / ص 166) حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ حَدَّثَنَا أَبُو الْمُطَوِّسِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ وَلَا مَرَضٍ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ وَإِنْ صَامَهُ
قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ و سَمِعْت مُحَمَّدًا يَقُولُ أَبُو الْمُطَوِّسِ اسْمُهُ يَزِيدُ بْنُ الْمُطَوِّسِ وَلَا أَعْرِفُ لَهُ غَيْرَ هَذَا الْحَدِيثِ

Dalam Sunan at-Tirmidzi (3/166): Muhammad bin Basyar menceritakan, Yahya bin Sa’id dan Abdurraman bi Mahdiy menceritakan pada kami, mereka berkata: Sufyan menceritakan dari Habib bin Abi Tsabit, Abu al-Muthawwis menceritakan dari ayahnya dari Abu Hurairah, beliau berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: Siapa yang berbuka (tidak puasa) satu hari di bulan Ramadhan bukan karena rukhshah (keringanan) dan karena sakit, maka tidak cukup sebagai gantinya puasa satu tahun seluruhnya.
Abu Isa berkata tentang hadist Abu Hurairah (ini): Aku tidak mengetahuinya kecuali dengan wajah/sanad ini dan aku (imam at-Tirmidzi) telah mendengar bahwa Muhammad (Imam Abu 'Abdillah Muhammad bin Isma'il al-Bukhari) berkata: Abu al-Muthawwis namanya Yazid bin Muthawwis, saya tidak mengetahui hadistnya selain hadist ini.

Hadist yang semakna yaitu:
صحيح البخاري - (ج 7 / ص 21) بَاب إِذَا جَامَعَ فِي رَمَضَانَ وَيُذْكَرُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلَا مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ وَبِهِ قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَالشَّعْبِيُّ وَابْنُ جُبَيْرٍ وَإِبْرَاهِيمُ وَقَتَادَةُ وَحَمَّادٌ يَقْضِي يَوْمًا مَكَانَهُ
Bab bila ... disebutkan dari Abi Hurairah, dia (al-Bukhari) memarfu’kannya: “Barangsiapa berbuka sehari di bulan Ramadhan bukan karena udzur dan sakit, maka puasa setahun tidak akan dapat mengganti jika mereka mempuasainya.” Dan darinya Ibn Mas’ud berkata dan Said bin al-Musayyid, dan asy-Sya’bi, Ibn Jubair, Ibrahim, Qatadah, Hammad berkata: Hendaklah dia mengqadha hari (yang ditinggalkannya) itu.
Dalam shahih Imam al-Bukhari (21/7) tanpa sanad, hadist seperti ini juga diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah (no. 198), Abu dawud (no.2397), Ibn Majah (no. 1672),

Perkataan Para Ahli Hadist:
1.         Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari (4/161) berkata bahwa Habib bin Abi Tsabit diperselisihkan dengan perselisihan yang banyak sekali. Hadist ini memiliki banyak kecacatan, kegoncangan, tidak diketahui keadaan Abu al-Muthawis, dan diragukan apakah ayahnya pernah berjumpa dan mendengar dari Abu Hurairah radlallahu ‘anhu.
2.         Ibn Khuzaimah berkata bahwa kalau memang hadist ini shahih, Abu al-Muthawwis maupun ayahnya tidak dikenalnya. Jadi Abu al-Muthawwis dan ayahnya adalah rawi yang majhul (tidak dikenal).

Kesimpulan:
Hadist-hadist ini (dari al-Muthawwis dan ayahnya) marfu’, tetapi tercatat kecacatannya, dan dhaif.

Senin, 18 Juli 2011

Berhari Raya Bersama Pemerintah: Sebuah Wacana

Ini adalah tulisan DR. Muh. Faiq Sulaifi yang kami unduh pada 18 September 2009. Adapun alamat web, kami lupa menyimpannya. Semoga membuka wacana kita semua.

Bismillah, ketentuan masuknya Ramadlan dan keluarnya hendaknya dikembalikan kepada keputusan Pemerintah RI. Karena Hari Raya, Puasa adalah ibadah jama’i yang dipimpin oleh imam dalam hal ini adalah penguasa.
Rasulullah SAW bersabda:
الْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ وَالْأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ
“Hari Idul Fitri adalah orang-orang berbuka (bersama-sama) dan Idul Adlha adalah hari orang-orang menyembelih (bersama-sama).” (HR. Tirmidzi: 731 dari Aisyah RA, beliau berkata: hadits shahih gharib)
Rasulullah SAW juga bersabda:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa adalah hari kalian berpuasa dan idul fitri adalah hari kalian beridul fitri (bersama-sama) dan idul adha adalah hari kalian menyembelih kurban (bersama-sama).” (HR. Tirmidzi: 633, Ibnu Majah: 1650 dari Abu Hurairah RA)
At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ulama menafsiri hadits di atas bahwa berpuasa dan berbuka itu bersama jama’ah (imam kaum muslimin) dan mayoritas manusia.” (Tuhfatul Ahwadzi: 2/235).
Al-Allamah Abul Hasan As-Sindi Al-Hindi berkata: “Yang jelas dari makna hadits di atas adalah bahwa urusan ini (penentuan hari raya dan puasa) tidak ada celah bagi individu untuk menentukan masalah ini dan tidak boleh seseorang bersendirian dalam hari raya dan puasa, tetapi urusan ini harus dikembalikan kepada imam (penguasa) dan jama’ah masyarakatnya dan wajib bagi masing-masing individu untuk mengikuti penguasa dan masyarakatnya. (Hasyiyah Ibni Majah As-Sindi:3/431)
Imam yang memiliki legalitas adalah Pemerintah melaului Depagnya, bukan PBNU, PP Muhammadiyah, PP Persis, mursyid thariqat atau Amir LDII, karena melihat tafsir ayat “WA ULIL AMRI MINKUM” tentang pemerintah yang wajib dita’ati(QS. An-Nisa: 59) yang merujuk pada penguasa yang MAUJUD (memiliki legalitas, aparat, perangkat) bukan Imam yang MA’DUM (abstrak) seperti pimpinan berbagai organisasi atau sekte.
Menurut Ibnu Taimiyah bahwa kalau ada seseorang melihat hilal sendirian dan persaksiannya ditolak oleh pemerintah dengan alasan apapun maka ia tetap MENGIKUTI KEPUTUSAN PEMERINTAH. (Lihat Majmu’ Fatawa: 6/65)
Yang demikian karena ijtihad ini (tentang hari raya) tidak menjadi tugas individu atau kelompok tetapi sudah menjadi IJTIHAD PENGUASA dalam rangka menyatukan kaum muslimin.
Pada jaman pemerintahan Umar bin Khathtab RA suatu waktu ada 2 orang melihat hilal Syawal kemudian salah satunya tetap puasa (karena tidak ingin menyelisihi masyarakat yang masih berpuasa) yang satunya berhari raya sendirian. Ketika permasalahan ini sampai kepada Umar RA maka beliau berkata kepada orang yang berhari raya sendirian: “Seandainya tidak ada temanmu yang ikut melihat hilal maka kamu akan saya pukul.” (Majmu’ Fatawa: 6/75) Dalam riwayat lain akhirnya Umar meng-isbat bahwa hari itu adalah hari raya dan menyuruh kaum muslimin unuk membatalkan puasa mereka berdasarkan kesaksian 2 orang tersebut. (Mir’atul Mafatih: 12/303-304)
Suatu ketika Masruq (seorang tabi’in) dijamu oleh Aisyah RA, ia berkata: “Tidak ada yang menghalangiku dari puasa ini (Arafah) kecuali karena takut ini sudah Idul Adha.” Maka Aisyah menolak alasannya dengan mengatakan: “Idul Adha adalah hari orang-orang beridul adha bersama-sama dan idul fitri adalah hari orang-orang beridul fitri bersama-sama.” (Silsilah Shahihah Al-Albani: 1/223) Ini karena Masruq telah menyendiri dari puasanya penduduk Madinah.
Suatu ketika Yahya bin Abu Ishaq (seorang tabi’in) melihat hilal Syawal sekitar dhuhur atau lebih dan ada beberapa orang yang ikut berbuka dengannya. Kemudian ia dan beberapa orang mendatangi Anas bin Malik RA (sahabat Nabi SAW) dan memberitahukan kepada beliau perihal rukyat hilal Syawal dan beberapa orang berbuka (membatalkan puasanya) pada hari itu. Maka beliau berkata: “Adapun aku maka telah genap aku berpuasa 31 hari karena Al-Hakam bin Ayyub (penguasa ketika itu) telah berkirim surat kepadaku bahwa beliau berpuasa sebelum puasanya orang-orang.Dan aku benci untuk berbeda hari raya dengan beliau dan puasaku akan aku sempurnakan sampai nanti malam.” (Zaadul Ma’aad: 2/37)
Maka saya berpesan pada pemilik situs ini agar menyampaikan tulisan saya ini kepada mereka-mereka yang egois yang bangga dengan ijtihadnya sendiri baik dengan hisab atau rukyat dalam keadaan menyelisihi isbatnya pemerintah maka sadar atau tidak mereka telah berupaya memecah belah umat. Jika orang-orang egois itu bertanya bahwa kadang-kadang penguasa bertindak tidak adil seperti menolak persaksian rukyat karena beda madzhab atau alasan politis dsb?

Maka Rasulullah SAW menjawab:
يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Mereka (penguasa) itu shalat bersama kalian. Jika ijtihad mereka benar maka pahalanya untuk kalian, kalau ijtihad mereka keliru maka pahalanya tetap atas kalian dan dosanya ditimpakan atas mereka.” (HR. Bukhari: 653)

Semoga ini dapat menjadi bahan renungan ditengah-tengah upaya penyatuan hari raya kaum muslimin Indonesia.

Minggu, 17 Juli 2011

Derajat Hadist Shalat Tarawih 20 Rakaat

Derajat Hadist Shalat Tarawih 20 Rakaat
Sugiyanta, S.Ag, M.Pd

Hadist Pertama
السنن الكبرى للبيهقي - (ج 1 / ص 120)
(وقد اخبرنا) أبو عبد الله الحسين بن محمد بن الحسين بن فنجويه الدينورى بالدامغان ثنا احمد بن محمد بن اسحاق السنى انبأ عبد الله بن محمد بن عبد العزيز البغوي ثنا على بن الجعد انبأ ابن ابى ذئب عن يزد بن خصيفة عن السائب بن يزيد قال كانوا يقومون على عهد عمر بن الخطاب رضى الله عنه في شهر رمضان بعشرين ركعة قال وكانوا يقرؤن بالمئين وكانوا يتوكؤن على عصيهم في عهد عثمان بن عفان رضى الله عنه من شدة القيام
... dari Yazid bin Khushaifah dari as-Sa-ib bin Yazid, ia berkata: Dulu mereka (para sahabat radliallahu ‘anhum) pada masa ‘Umar bin Khaththab radliallahu ‘anhu dalam bulan Ramadlan (melakukan shalat tarawih) 20 rakaat. Ia berkata: Dulu mereka membaca seratusan ayat (al-mi’un), dulu mereka bersandar pada tongkatnya pada masa Usman bin ‘Affan radliallahu ‘anhu karena semangat melakukannya.

Derajat hadist
1.    Imam Ahmad mengatakan bahwa Yazid bin Khushaifah adalah “pemilik hadist-hadist munkar.
2.    Imam adz-Dzahabi mengatakan dalam al-Mizan: Dalam ucapan Ahmad itu terbetik bahwa Yazid bin Khushaifah seringkali menyendiri dengan riwayat yang tidak diriwayatkan oleh para perawi terpercaya.
3.    Yazid bin Khushaifah dianggap syadz (ganjil, aneh).
4.    Hadist ini DLAIF atau lemah.

Hadist di atas bertentangan dengan hadist berikut:
موطأ مالك - (ج 1 / ص 341) و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوسُفَ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ
أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِيِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلَّا فِي فُرُوعِ الْفَجْرِ

Mengabarkan kepadaku dari malik dari Muhammad bin Yusuf dari as-Sa-ib bin Yazid bahwa ia berkata: Umar bin Khaththab memerintahkan Ubay bin Kaab dan Tamim ad-Dari untuk mengimami manusia (shalat tarawih) sebelas rakaat. Beliau melanjutkan: Dan kala itu, seorang qari (imam) membaca ratusan ayat sehingga kami terpaksa bersandar pada tongkat kami karena terlalu lama berdiri. Lalu kami kami bubar menjelang fajar.

Hadist pertama menegaskan dengan 20 rakaat dan yang berikutnya 11 rakaat. Hadist pertama dan yang berikutnya mempunyai sumber yang sama yaitu as-Saib bin Yazid. Hadist pertama diteruskan oleh Yazid bin Khushaifah sedangkan hadist yang berikutnya diteruskan oleh Muhammad bin Yusuf. Cela ibn Khushaifah telah dibahas oleh Imam Ahmad, Imam adz-Dzahabi.
Al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani menilai bahwa Muhammad Yusuf adalah orang yang terpercaya lagi meyakinkan. Muhammadbin Yusuf adalah kemenakan as-Saib bin Yazid, maka dengan kedekatan kekerabatan dengan as-Saib bin Yazid, jelas Muhammad bin Yusuf lebih faham, mengetahui dan hafal tentang riwayat as-Saib bin Yazid. Jadi diantara dua hadist di atas yang bisa dijadikan hujjah adalah hadist riwayat Muhammad bin Yusuf (11 rakaat).

Hadist kedua
موطأ مالك - (ج 1 / ص 342)
و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ أَنَّهُ قَالَ: كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً
Dari Malik dari Yazid bin Ruman bahwa ia berkata: Dulu para manusia shalat (tarawih) pada masa ‘Umar bin al-Khaththab dalam bulan Ramadlan dengan dua puluh tiga rakaat.
السنن الكبرى للبيهقي - (ج 2 / ص 496)
(انبأ) أبو احمد العدل انبأ محمد بن جعفر المزكى ثنا محمد بن ابراهيم ثنا ابن بكير ثنا مالك عن يزيد بن رومان قال كان الناس يقومون في زمان عمر بن الخطاب رضى الله عنه في رمضان بثلاث وعشرين ركعة ويمكن الجمع بين الروايتين فانهم كانوا يقومون باحدى عشرة ثم كانوا يقومون بعشرين ويوترون بثلاث والله اعلم
Hadist ini juga diriwayatkan Imam al-Baihaqi dalam al-Ma’rifah, juga oleh al-Firyabi (76:I)

Kelemahan hadist
1.    Seperti dikatakan oleh al-Hafidz az-Zailai dalam Nashbu ar-Rayah, kelemahan hadist terletak pada Yazid bin Ruman, karena ia tidak pernah bertemu dengan Umar bin Khaththan radhiallahu ‘anhu.
2.    Imam an-Nawai mendha’ifkan hadist-hadist di atas di dalam kitab al-Majmu (IV:33), dengan mengatakan bahwa Imam al-Baihaqi meriwayatkannya tapi dengan sanad mursal. Karena Yazid bin Ruman memang belum pernah berjumpa dengan Umar.
3.    Al-Aini dalam Umdatul Qari Syarhu Shahihi al-Bukhari (V:357) mengatakan bahwa derajat sanadnya terputus.
4.    Kesimpulannya hadist di atas dhaif/lemah dan bertentangan dengan hadist shahih dari Muhammad bin Yusuf di atas.

Hadist ketiga
مصنف ابن أبي شيبة - (ج 2 / ص 285)حدثنا وكيع عن مالك بن أنس عن يحيى بن سعيد أن عمر بن الخطاب أمر رجلا يصلي بهم عشرين ركعة
Dari Waki’ dari Malik bin Anas dari Yahya bin Sa’id bahwa Umar bin al-Khaththab memerintahkan orang-orang shalat 20 rakaat.

Kelemahan Hadist
1.    Hadit ini terputus sehingga memiliki derajat DLAIF/lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah
2.    Imam al-‘Allamah al-Mubarakfuri menyebutkan dalam kitabnya (II:85) bahwa Yahya bin Sa’id tak pernah berjumpa dengan Umar al-Khaththab
3.    An-Naimawi menyatakan dalam Astaru as-Sunan bahwa para perawinya terpercaya, tetapi Yahya bin Sa’id tak pernah bertemu Umar bin Khaththab.

Hadist keempat
مصنف ابن أبي شيبة - (ج 2 / ص 285) حدثنا وكيع عن حسن بن صالح عن عمرو بن قيس عن أبي الحسناء أن علي أمر رجلا يصلي بهم في رمضان عشرين ركعة.
Dari Waki’ bin Shalih dari Amru bin Qais dari Abu al-Husna’ bahwa Ali memerintahkan orang-orang shalat (tarawih) pada bulan Ramadlan 20 rakaat.

Hadist di atas juga diriwayatkan Imam al-Baihaqi.

Kelemahan Hadist
1.    Dalam kitab Sunan al-Kubra, Imam al-Baihaqi mengatakan bahwa sanad ini mengandung kelemahan (II:497)
2.    Imam adz-Dzahabi mengomentari Abu al-Husna’ dengan mengatakan: (Ia) tak dikenal
3.    Al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab at-Tahdzib menyatakan: (Ia) tak diketahui orangnya. Al-Hafidz juga mengatakan bahwa dalam riwayat lain, anatar Abul Husna dan Ali bin Thalib terdapat dua orang lagi yaitu al-Hakam bin al-‘Utaibah dan Hanasy.
4.    Jadi sanad hadist ini terputus dan DLAIF/lemah
Hadist kelima
السنن الكبرى للبيهقي - (ج 2 / ص 496)انبأ محمد بن احمد بن عيسى بن عبدك الرازي ثنا أبو عامر عمرو بن تميم ثنا احمد بن عبد الله بن يونس ثنا حماد بن شعيب عن عطاء بن السائب عن ابى عبد الرحمن السلمى قال: على رضى الله عنه دعا القراء في رمضان فامر منهم رجلا يصلى بالناس عشرين ركعة قال وكان على رضى الله عنها يوتر بهم وروى

... mengabarkan kepada kami, Hammad bin Syu’aib dari ‘Atho bin as-Saib dari Abu Abdirrahman dari ‘Ali radliallahu ‘anhu as-Salami, ia berkata: Ali bin Abi Thalib memanggil para qari’ pada bulan Ramadlan, lalu memerintahkan seorang diantara mereka untuk mengimami manusia dua puluh rakaat. Lalu lanjutnya: Lalu Ali radliallahu ‘anhu mengimami mereka dalam shalat witir.

Kelemahan Hadist
1.    Kelemahan sanad pada Atha bin as-Saib dan Hammad bin Syu’aib
2.    Imam al-Baihaqi mengatakan dalam as-Sunan al-Kubra bahwa Atha bin as-Saib dikenal ngawur di akhir hidupnya. Imam as-Suyuthi dalam Tadribu ar-Rawi mengatakan bahwa Hammad Syu’aib adalah perawi yang lemah hafalannya sebagaimana dikatakan Imam al-Bukhari: Perlu diteliti. Bahkan kadang-kadang beliau berkatan bahwa Hammad adalah pemilik hadist-hadist munkar.
3.    Dengan sebab di atas, Imam al-Albani mengatakan bahwa hadist di atas hadist munkar (riwayat lemah, yang menyelisihi riwayat yang shahih)

Hadist Keenam
مصنف ابن أبي شيبة - (ج 2 / ص 285) حدثنا حميد بن عبد الرحمن عن حسن عبد العزيز بن رفيع قال كان أبي بن كعب يصلي بالناس في رمضان بالمدينة عشرين ركعة ويوتر بثلاث.
Mengabarkan kepada kami Hamid bin Abdirrahman dari Hasan Abdul ‘Aziz bin Rafi’, ia berkata: Ubai bin Ka’ab pernah shalat mengimami manusia pada bulan Ramadlan di Madinah 20 rakaat lalu berwitir tiga rakaat.

Kelemahan Hadist
1.    Jarak antara Abdul Aziz dengan Ka’ab seratus tahun atau lebih. Maka mustahil keduanya berjumpa (lihat Tahdzib at-Tahdzib)
2.    An-Naimawi al Hindi mengatakan: Abdul Aziz bin Rafi’ belum pernah berjumpa dengan Ubai bin Ka’ab
3.    Maka sanad hadist ini mursal/terputus sehingga ia dlaif/lemah
4.     

Selasa, 12 Juli 2011

Mengapa Harus ada Imsak

Imsak dan Batas Akhir Makan Sahur dalam Perbincangan
Oleh: Sugiyanta, S.Ag, M.Pd

Yang dimaksud imsak dalam tulisan ini adalah waktu batas akhir makan sahur sebelum mengerjakan puasa. Dalam penanggalan ada yang disebut jadwal imsakiah yaitu tabel yang berisi waktu-waktu shalat wajib lima waktu, imsak, fajar (shubuh), dan matahari terbit. Rupanya imsak dianggap begitu penting terutama saat Ramadhan sehingga jadwal tersebut dinamai imsakiah.

Perintah Sahur dan Mengakhirkannya
1.    Keutamaan Sahur
صحيح مسلم - (ج 5 / ص 388) حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ مُوسَى بْنِ عُلَيٍّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي قَيْسٍ مَوْلَى عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
Dalam Shahih Muslim (5/388) – Qutaibah bin Sa’id menceritakan Laits menceritakan dari Musa bin ‘Ulay dari ayahnya dari Abi Qais maula ‘Amru bin al-‘Ash dari Amru bin al-‘Ash bahwa Rasulallahu shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahli kitab adalah makan sahur.

Faidah hadist:
Salah satu keutamaan sahur adalah sebagai pembeda puasanya seorang muslim dengan non-muslim (kafir).

2.    Waktu Sahur
سنن النسائي - (ج 3 / ص 6) أَخْبَرَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا حَفْصٌ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَذَّنَ بِلَالٌ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
Dalam Sunnan Imam an-Nasa’i (3/6) – Ya’qub bin Ibrahim mengabarkan kepada kami, ia berkata: “Hafsh menceritakan dari Ubaidillah al-Qasim dari ‘Aisyah, ia berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: Bila Bilal mengumandangkan adzan maka makan dan minumlah sampai Ibn Ummi Maktum mengumandangkan adzan.

Faidah hadist:
o  Pada masa Nabi adzan pagi hari dilakukan dua kali – yang pertama adalah adzan sebelum waktu fajar oleh Bilal seperti tercantum dalam hadist berikut:
صحيح مسلم - (ج 5 / ص 383 (و حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ ابْنُ عُلَيَّةَ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَوَادَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
لَا يَغُرَّنَّكُمْ أَذَانُ بِلَالٍ وَلَا هَذَا الْبَيَاضُ لِعَمُودِ الصُّبْحِ حَتَّى يَسْتَطِيرَ هَكَذَا
Dalam Shahih Muslim (5/383) dan Zuhair bin Harb menceritakan, Ismail ibn ‘Ulayyah menceritakan, ‘Abdullah bin Sawadah menceritakan kepadaku dari ayahnya dari Samurah bin Jundub radliallahu .anhu, ia berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Janganlah kamu tertipu dengan adzannya Bilal dan jangan pula (tertipu oleh) sinar putih itu untuk cahaya shalat Shubuh hingga terang seperti ini.
o  dan yang kedua adalah adzan saat fajar terbit yaitu saat waktu shubuh oleh Ibn Ummi Maktum
o  Saat terdengar adzan oleh Bilal makan minum (sahur) masih diperkenankan dan dilarang makan dan minum saat adzan Ibn Ummi Maktum
o  Berdasar hadist di atas, batas makan sahur adalah saat adzan/waktu shubuh tiba dan bukan 10 menit sebelum adzan shubuh.

3.    Bila Adzan Shubuh berkumadang dan Makanan Masih di Tangan
سنن أبي داود - )ج 6 / ص 297  (حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى بْنُ حَمَّادٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُِ
Dalam Sunan Abi dawud (6/297) – Abdul al-A’la bin Hammad bercerita: “Dari Muhamad bin ‘Amri dari Abi Salamah dari Ab Hurairah, ia berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: Jika salah seorang dari kalian mendengar seruan adzan, sementara gelas masih ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkan gelasnya hingga ia menyelesaikan keperluannya itu. (Diriwayatkan juga oleh al-Hakim no. 426/I)

Faidah hadist
Ternyata walaupun sudah adzan berkumandang, tetapi masih ada makanan/minuman di tangan kita, kita diperintahkan untuk meneruskan maka sahur kita.

4.    Jarak antara sahur dan shalat shubuh?
صحيح مسلم - (ج 5 / ص 389) حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ هِشَامٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ: كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: خَمْسِينَ آيَةً
Dalam shahih Muslim (5/389) – Abu Bakar bin Abi Syaibah bercerita: Waki’ bercerita: Dari Hisyam dari Qatadah dari Anas dari Zaid bin Tsabit radliallahu ‘anhu, ia berkata: “Kami makan sahur bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam kemudian kami berdiri untuk shalat (shubuh)”. Aku bertanta: “Berapa lama kira-kira antara keduanya (antara shalat dan sahur – penuilis)?” Beliau menawab: “Lima puluh ayat.”

Faidah hadist:
Jarak antara makan sahur dan shalat shubuh adalah kira-kira selama bacaan lima puluh ayat.

Kesimpulan
Umat Islam meyakini bahwa makan sahur adalah salah satu sunah Rasulullah yang semestinya kita lakukan walaupun hanya dengan seteguk air. Dan Rasulullah memerintahkan agar kita mengakhirkan makan sahur. Batas akhir makan sahur adalah fajar shadiq yang pada masa Rasulullah, Ibn Ummi Maktum selalu adzan pada saat fajar shadiq. Jadi batas akhir waktu makan sahur adalah waktu awal shalat shubuh. Bahkan Rasulullah mengijinkan kita untuk meneruskan kita minum (bahkan mungkin makan) walaupun adan shubuh sudah dikumandangkan.
Waktu imsak yang beredar saat ini adalah 10 sebelum adzan shubuh. Maka tidaklah dibenarkan muslimin dan muslimat mengakhiri makan sahur sepuluh menit sebelum adzan shubuh. Bahkan saat itu (10 menit sebelum adzan) adalah waktu terbaik kita melaksanakan makan sahur. Bukankah kita diperintahkan untuk mengakhirkan makan sahur. Bukankah kita tetap dibenarkan untuk sekedar menghabiskan minuman (mungkin juga makanan) yang masih ada di tangan walaupun adzan shubuh sedang/sudah berkumandang?
Saudaraku janganlah mempersulit agama ini karena “Sesungguhnya agama itu mudah.” (HR. Bukhari). Dan janganlah selalu menganggap baik suatu amalan yang tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengatakan (misalnya): “Kami menentukan waktu imsak ‘kan untuk berhati-hati jangan kebablasan makan sampai shalat shubuh”. Ingatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih mengetahui keadaan umatnya dan bukannya orang-orang yang menetapkan waktu imsak. Ingatlah ketika terdengar adzan, suri teladan kita (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) masih memberikan kita kesempatan untuk menghabiskan makanan yang ada di tangan.

Senin, 11 Juli 2011

Alasan Mengapa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa Salam tidak Shalat Tarawih di Masjid Terus Menerus


Ada pertanyaan dari dua orang pencinta blog Pimpinan Cabang Muhammadiyah Dekso ini. 
Pertanyaan:
Mengapa Rasulullah tidak mengerjakan shalat malam pada Ramadhan secara terus menerus? Mengapa kita tidak meniru Rasulullah saja dengan shalat malam pada Ramadhan seperti dalam banyak hadist yaitu pada malam dua puluh satu, malam dua puluh tiga, malam dua puluh lima, malam dua puluh tujuh saja. Mengapa kita dari malam pertama?
Jawaban:

صحيح البخاري - (ج 4 / ص 290) حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ
Dalam Shahih al-Bukhari (4/290) – Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami, ia berkata: Malik mengabarkan dari Ibn Syihab dari ‘Urwah bin az-Zubair dari ‘Aisyah Ummil Mu’minin radliallahu ‘anha bahwa Rasulullah shalallaha ‘’alaihi wa salam suatu malam shalat (Ramadhan) di masjid maka manusia shalat bersama shalatnya, lalu beliau shalat pada malam berikutnya, dan orang-orang berambah banyak. Kemudian mereka berkumpul pada malam yang ketiga atau keempat, tetapi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam tidak keluar kepada mereka, kemudian ketika shubuh, (Rasulullah) bersabda: “Sungguh aku melihat yang kalian lakukan, tak ada yang menghalangiku untuk keluar kepadamu kecuali aku khawatir bila (shalat ini) akan diwajibkan atas kalian. Dan hal itu dalam Ramadhan. 
Hadist riwayat Imam al-Bukhari di atas menegaskan bahwa
1. Rasulullah suatu saat shalat malam pada bulan Ramadhan dan diikuti oleh para sahabat, begitu juga malam   berikutnya. Tetapi pada malam yang ke tiga atau keempat Rasulullah tidak ke masjid. Waktu shubuh  berkata bahwa beliau tahu bahwa para shahabat menunggunya
2. Alasannya adalah Rasulullah tidak keluar malam itu adalah rasa khawatir jangan-jangan para shahabat     menganggapnya wajib.
Jadi alasan Rasulullah tidak shalat malam Ramadhan berjamaah shalat malam di masjid adalah khawatir para shahabat menganggapnya shalat malam pada Ramadhan sebagai shalat malam wajib. Dan ke khawatiran Rasulullah itu kini sudah diketahui bahwa shalat malam berjamaah di masjid tidaklah wajib. Maka kita hendaknya mengerjkannya dengan jamaah di masjid. Mengapa kita mengerjakannya dari awal Ramadhan adalah karena hadist "Barangsiapa berdiri (shalat malam) pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap penghitungan (pahala) akan diampuni dosa-dosa yang sudah-sudah."