Minggu, 24 Juni 2012

NYADRAN – BAGAIMANA KITA MESTI BERSIKAP

NYADRAN – BAGAIMANA KITA MESTI BERSIKAP
Oleh: Sugiyanta, S.Ag, M.Pd

Sebuah Menara Masjid di Tanjung Harapan Penajam Paser Utara Kaltim

Pengertian
Nyadran adalah melaksanakan upacara sadran atau sadranan. Nyadran biasa dilaksanakan pada tanggal 15 Ruwah (Sya’ban) hingga mendekati bulan Puasa (Ramadhan). Ruwahan sering juga disebut ruwahan.

Sejarah
Konon Nyadran adalah tradisi yang diawali oleh Ratu Tribuana Tungga Dewi, Raja Majapahit. Saat itu ia ingin berdoa kepada ibunya yang bernama Ratu Gayatri, dan roh nenek moyangnya yang diperabukan di candi Jabo. Untuk itu disiapkan sesaji yand ditujukan kepada para dewa. Tradisi ini dilanjutkan oleh Prabu Hayam Wuruk.
Konon pula tradisi ini dilanjutkan oleh Wali Songo menjadi nyadran untuk mendoakan para orang tua di alam baka. Bedanya sesaji tidak lagi diperuntukkan kepada para dewa, tetapi sebagai sarana untuk sedekah kepada fakir miskin.

Nyadran Kini
Kini nyadran menjadi agenda tradisi yang banyak dilestarikan oleh pemerintah dari RT hingga kabupaten. Dari sesaji yang paling sederhana berbiaya kecil hingga sesaji mewah berbiaya puluhan juta. Sesaji (hidangan, kalau tak boleh disebut sesaji) biasa dimakan di makam, masjid, atau bahkan alun-alun. Dalam penyajian hidangan ada pula yang mengorbankan binatang korban ditujukan kepada mayat yang sudah dimakamkan. Tradisi di tingkat kabupaten biasa disebut Nyadran Agung.

Ritual Nyadran
1.         Bersih-bersih makam
2.         Mengadakan selamatan (wilujengan) dengan sajian utama kolak, apem, ketan, ambeng, tumpeng, sesajian lain (tukon pasar), dan tentu kemenyan
3.         Berziarah ke makam, mungkin orang tua, nenek moyang, leluhur, orang-orang alim, orang-orang linuwih  yang dekat maupun yang jauh dan melakukan tabur bunga.

Keyakinan-Keyakinan
Mengapa nyadran diselenggarakan pada bulan Sya’ban? Konon jawabannya adalah Jasad dan ruh orang yang meninggal akan terpisahkan pada bulan sya’ban. Atau dengan bahasa yang lain bahwa pada bulan Sya’ban turun ketentuan pisahnya ruh dengan jasad manusia. Menentukan bulan Sya’ban sebagai bulan utama untuk nyadran dan atau untuk berziarah kubur harus disertai dalil. Adakah dalil tentang hal itu?

Permasalahannya
1.         Berasal dari Orang Non-Islam.
Kalau benar tradisi ini meneruskan tradisi yang dilakukan oleh Tri Bhuwana Tungga Dewi, maka selayaknya kita tidak meniru-niru ibadah yang dilakukan oleh orang kafir. Tidak dapat dipungkuri bahwa Tri Bhuana Tungga Dewi, dan Hayam Wuruk adalah orang-orang non-Islam/kafir. Meniru ibadah mereka tidak dibenarkan oleh agama kita ini.
2.         Bersih-bersih makam pada bulan Sya’ban.
Adakah ketentuan dalam agama ini, membersihkan makam pada bulan Sya’ban memiliki keutamaan dari pada membersihkan makam pada bulan lainnya?
3.         Sesajian untuk sedekah untuk kaum fakir miskin.
Rupanya ini perlu dikonsep ulang. Untuk mengindari kesan pesta-pesta (membuat hidangan lalu dimakan sendiri), sedekan lebih bermakna kalau disampaikan dalam bentuk beras, pakaian, atau uang daripada hidangan (yang kadang dimakan sendiri oleh yang membuat hidangan). Dan lagi sedekah pada bulan Sya’ban tidak memiliki keutamaan daripada bulan lainnya.
4.         Peninggalan Wali Songo
Kalau memang ini peninggalan Wali Songo sebagai bentuk dakwah karena keadaan masyarakat saat itu yang begitu sulit menerima ajaran baru, maka sebaiknya kita merenungi komentar Sunan Kalijogo berkenaan dengan tahlilan, “Biarlah nanti generasi setelah kita, ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan
5.         Tabur bunga dan membakar kemenyan.
Adakah contoh dari Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam dan para sahabatnya budaya atau tuntunan untuk melakukan hal itu.

Masih banyak yang lain, karena keterbatasan penulis, penulis sudah menganggap cukup untuk mengajak pembaca merenungkan kembali apakah kita perlu untuk meneruskan dan nguri-uri tradisi nyadran. Penulis hanya mengetahui kaidah, “Seluruh bentuk ibadah itu dilarang, kecuali Allah dan Rasulnya memerintahkan untuk mengerjakannya.” Wallahu a’lam.

Jumat, 15 Juni 2012

Pertanyaan: Adakah Dalil Turun Sujud Mendahulukan Tangan Sebelum Lutut,, dan Berdiri Mendahulukan Lutut Sebelum Tangan


TATA CARA TURUN UNTUK SUJUD DAN BANGUN DARI SUJUD
MENURUT PENDAPAT SYAIKH AL-ALBANI

Halo Matahari dari MAN 1 Kalibawang

A. Turun untuk Sujud
كَنَ صل الله عليه وسلم إِذَا سَجَدَ يَضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
Nabi shalallahu 'alaihi wa salam ketika sujud meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. (HR al-Jamaah, al-Hakim berkata: Shahih menurut syarat Muslim, dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Ibn Khuzaimah menshahihkannya, lihat Tamamul Minah : hal. 237)

Abu Hurairah berkata bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa salam bersabda:
إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيْرُ وَ لْيَضَعْ يَدَيْه قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
Ketika salah seorang diantara kalian sujud, maka janganlah ia berlutut seperti berlututnya unta, dan letakkanlah kedua tanganmu sebelum kedua lututmu. (HR. Abu Daud, an-Nasai, dan al-Jamaah). Sanad hadist menutut Imam an-Nawawi dan az-Zarqani- jayyid (baik) dan dikuatkan oleh Ibn Hajar, Ibid., lihat  juga Bulughul Maram hadist no.331. Ibn Hajar mengatakan hadist ini lebih kuat dibanding hadist dari Wail bin Hujr (meletakkan lutut terlebih dulu dari pada meletakkan kedua tangan) ). 
Tentang lutut unta:
1.      al-Fairuz Abadi (ahli bahasa): Sesungguhnya kedua lutut onta itu ada pada kedua kaki depannya.
2.      Ath-Thahawi: Sesungguhnya onta itu kedua lututnya ada pada kedua tangannya. Begitu pula semua binatang (baha’im). Sedangkan Bani Adam (manusia) tidak demikian. Maka ia berkata: Dia  tidak berlutut pada kedua lututnya yang ada pada kedua kakinya, seperti berlututnya onta pada    kedua lututnya yang ada pada kedua tangannya (kaki depannya). Tetapi ia memulai dengan     pertama kali meletakkan kedua tanggannya yang tidak mempunyai lutut, kemudian meletakkan   kedua lututnya. Cara berlutut seperti itu berbeda dengan yang dilakukan manusia. (ibid. 238).

Abu Hamid as-Sa’idi, ia meriwayatkan:
أَنَّ رَسُولُ اللهِ صل الله عليه وسلم كاَنَ… يَهْوِى إِلَى اْلأَرْضِ مُجَافِيًا يَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ ثُمَّ يَسْجُدُ وَقَالُوا جَمِيعًا: صَدَقْتَ، هَكَذَا كَانَ النَّبِي صل الله عليه وسلم يُصَلِّى
Bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam … turun ke tanah dengan merenggangkan kedua tangannya dari kedua lambungnya, kemudian sujud. Para sahabat semua mengatakan, “Engkau benar. Demikianlah Nabi mengerjakan sholat. (HR Ibn Khuzaimah, I/317-318 dengan sanad yang shahih, opcit. Tamamul … hal 239)
Syaikh al-Albani mengatakan : turun ke tanah dengan merenggangkan kedua tangannya dari kedua lambung menunjukkan – tidak mungkin dilakukan kecuali dengan bertemunya tangan – bukan lutut – dengan tanah. Wallahu a’lam(Ibid).

Sedangkan hadist dari Wail bin Hujr yang berbunyi:
رأيتُ رسولُ الله صلى اللهُ عليهِ و سَلامَ: إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإذَا نَهَضَ رَفَعَ  يَدَيهِ قَبْلَ رُكْبَتَيهِ.
Aku pernah melihat Rasulullah apabila sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua dua tangannya, dan apabila bangkit, beliau angkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya. (HR Tirmidzi, Nasai, Abu Dawud, Ibn Majah, Ibn Hibban),
Menurut Imam al-Albani, ia hadist dhaif, yaitu riwayat Syarik Ibn Abdillah al-Qadhi. Ia dhaif dan buruk hapalannya. Ibn Hajjar mengatakan dalam Bulughul Maram bahwa hadist riwayat Abu Hurairah lebih kuat dibanding hadist Wail.

B. BANGUN DARI SUJUD UNTUK MENGERJAKAN RAKAAT SELANJUTNYA
Malik bin al-Huwairits, ia berkata:
أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ عَنْ صَلاَةَ رَسُولِ اللهِ صلى اللهُ عليهِ و سَلامَ؟ فَيُصَلِّى فِي غَيْرِوَقْتِ الصَّلاَةِ, فَإِذَا رَفَعَ رَأْسُهُ مِن السَّجْدَةِ الثَّانِيَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ اسْتَوَى قَاعِدًا, فَاعْتَمَدَ عَلىَ اْلأَرْضِ.
Tidakkah akan aku ceritakan kepadamu tentang shalat Rasulullah   صلى اللهُ عليهِ و سَلامKemudian ia (memperagakan) shalat di luar waktu shalat. Ketika mengangkat kepalanya dari sujud pada rakaat pertama dia duduk dengan tegak. Kemudian ia bangkit dengan berpegang pada tanah (bumi) (HR Imam Bukhari dan Imam Syafii, lafal menurut Imam Syafii dalam al-Umm Ibid hal. 240)

Al-Azraq bin Qais berkata:
رَأَيْتُ ابنَ عُمَرَ يَعْجِنُ فِي الصَّلاَةِ : يَعْتَمِدُ عَلَى يَدَيْهِ إِذَا قَامَ. فَقَالَ: رَأَيْتُ رَسُولِ اللهِ صلى اللهُ عليهِ و سَلامَ يَفْعَلُهُ
Aku melihat Ibn Umar dalam shalat membuat adonan (ajn) dalam sholat; berpegang pada kedua tangannya, ketika bangkit. Kemudian aku bertanya kepadanya, ia menjawab: Saya melihat Rasulullah melakukannya. (HR Abu Ishak Al-Harbi dengan sanad sahih. Imam Baihaqi meriwayatkan semakna dengan hadist ini)   

Al-Azraq bin Qais berkata:
1. رَأَيْتُ ابنَ عُمَرَ إِذَا قَامَ مِنَ الرُّكْعَتَيْنِ اعْتَدَلَ على اْلأَرْضِ بيَدَيْهِ: فَقُلْتُ لِوَلَدِهِ وَلِجُلَسَائِهِ: لَعَلَهُ يَفْعَلُ هَذَا مِنَ الْكِبَرِ؟ قَالُوا: لاَ, وَلَكِنْ هَكَذَا يَكُونُ.
Aku melihat Ibn Umar ketika bangun dari dua rakaat, beliau berpegang pada tanah dengan kedua tanggannya. Aku bertanya kepada anak dan murid-muridnya: barangkali beliau melakukan itu karena sudah tua. Mereka menjawab: Tidak, tetapi begitulah beliau lakukan.

Al-Azraq bin Qais berkata:
2.   رَأَيْتُ ابنَ عُمَرَ فِى الصّلاَةِ يَعْتَمِدُ إِذَا قَامَ, فَقُلْتُ: ما هَذَا؟  قَالُوا: رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صلى اللهُ عليهِ و سَلامَ يَفْعَلُهُ.
Aku melihat Ibn Umar dalam shalat berpegangan ketika bangun. Lalu aku bertanya: Apa ini? Beliau menjawab: Saya melihat Rasulullah saw melakukannya. (HR Thabrani dalam al-Ausath)

Selasa, 12 Juni 2012

Inilah Pembesar-Pembesar Toghut (Tandingan Allah)

Waspadailah Toghut
Oleh: Sugiyanta Purwosumarto


Pengertian Toghut
Menurut Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, thoghut adalah setiap yang disembah selain Allah ta’ala, yang ia rela atau menganjurkan atau memaksa untuk diibadahi, atau ditaati dalam hal maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Perintah Untuk Menjauhi Tahgut
Allah mengutus para Rasul agar memerintahkan kaumnya menyembah Allah dan menjauhi thaghut.

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ [النحل/36]
Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).

Pemimpin Thaghut
Bentuk Thaghut itu amat banyak, tetapi pemimpin mereka ada lima:

1.      Iblis dan Setan
Iblis dulunya bersama para Malaikat melakukan pekerjaan seperti yang dilakukan oleh para Malaikat. Akan tetapi setelah Allah memerintahnya untuk bersujud kepada  Adam, Iblis menampakkan  pembangkangan dan kesombangannya, dan ia termasuk hamba Allah yang kafir.
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآَدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ [البقرة/34]
Dan ingatlah (saat) Kami katakan kepada para Malaikat, “Kalian bersujudlah kepada Adam,” maka mereke semua bersujud kecuali Iblis, ia membangkang dan sombong, dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Setan juga selalu mengajak manusia untuk menyembahnya dan beribadah untuknya, maka Allah pun melarang kita beribadah untuknya.
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آَدَمَ أَنْ لَا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِين [يس/60]
Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam, supaya kamu tidak menyembah setan? Sesungguhnya Setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.

2.      Penguasa/ulama yang mengubah hukum-hukum Allah Subhanahu wa ta’ala
Termasuk di dalamnya adalah paraa pembuat undang-undang yang tidak sejalan dengan Islam. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ [الشورى/21]
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah, yang mengsyari’atkan untuk mereka agama-agama yang tidak diizinkan Allah? Sebagai contoh adalah para ulama yang begitu mudahnya mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, dan mengalalkan apa yang diharamkan Allah, seperti para rahib-rahib dan para orang alim dari kalangan Nashrani berikut:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ [التوبة/31]
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
Allah menyebut orang-orang yang membuat hukum sebagai tuhan-tuhan yang telah membuat syariat atau aturan menyamai Allah, dan Allah menyebut orang-orang yang mengikuti mereka sebagai hamba-hamba mereka (orang alim dan rahub mereka itu), karena mereka mentaati dan mengikuti mereka dalam menentang dan melawan hukum-hukum Allah. Berkenaan dengan ayat di atas ada hadist berikut:
تفسير الطبري - (ج 14 / ص 210)
حدثنا أبو كريب وابن وكيع قالا حدثنا مالك بن إسماعيل = وحدثنا أحمد بن إسحاق قال، حدثنا أبو أحمد = جميعًا، عن عبد السلام بن حرب قال، حدثنا غطيف بن أعين، عن مصعب بن سعد، عن عدي بن حاتم قال: أتيت رسولَ الله صلى الله عليه وسلم وفي عُنُقي صليبٌ من ذهب، فقال: يا عديّ، اطرح هذا الوثنَ من عنقك ! قال: فطرحته، وانتهيت إليه وهو يقرأ في "سورة براءة"، فقرأ هذه الآية:(اتخذوا أحبارهم ورُهبانهم أربابًا من دون الله)، قال قلت: يا رسول الله، إنا لسنا نعبدُهم! فقال: أليس يحرِّمون ما أحلَّ الله فتحرِّمونه، ويحلُّون ما حرَّم الله فتحلُّونه؟ قال: قلت: بلى! قال: فتلك عبادتهم! = واللفظ لحديث أبي كريب.
Tafsir ath-Thabari (14/210) - telah menceritakan kepada kami Abu Karib dan Ibn Waki’, katanya, “Telah menceritakan kepada kami Malik bin Isma’il = Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ishaq, “telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad,” = bersama-sama, dari Abdus-Salam bin Harb, katanya, “Telah menceritakan kepada kami Ghuthaif bin A’yan, dari Mash’ab bi Sa’ad dari ‘Adi bin Hatim, ia berkata, “Aku mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam dan dileherku ada salib dari emas,” lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Ya ‘Adi, buanglah (lepaslah) barang ini dari lehermu.” ‘Adi bin Hatim berkata, “Lalu aku membuangnya, dan melupakannya, dan Beliau membaca Surat Baroah,lalu membaca ayat ini, “Attakhadzu ahbarahum wa ruhbanahum arababan min dunillah – mereka jadikan orang-orang alimnya dan para rahibnya sebagai tuhan-tuhan (rabb-rabb) selain Allah.” Adi bin Hatim berkata, “Aku katakan, “Ya Rasulullah, sungguh sekalipun kami tak beribadah kepadanya.” Maka Beliau bersabda, “Bukankah mereka menngharamkan apa Allah haramkan, lalu mereka ikut mengharamkan, dan mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan, lalu mereka ikut mengharamkannya?” Adi bin Hatim menjawa, “Itulah bentuk ibadah mereka kepadanya.” Lafadz menurut hadist Abi Karib.
3.      Hakim yang tidak memutuskan (masalah) menurut apa yang diturunkan Allah
Termasuk di dalamnya ialah orang yang tidak mempercayai bahwa hukum-hukum yang diturunkan Allah tidak sesuai lagi, atau ia membolehkan diberlakukannya hukum yang lain.
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُون [المائدة/44]
Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalaha orang-orang yang kafir
Termasuk di antaranya adalah para tukang ramal (paranomal) dan para dukun.
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ [النمل/65]
Katakanlah, “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah

4.      Seseorang atau sesuatu yang disembah dan diminta pertolongan oleh manusia selain Allah, sedangkan ia rela dengan yang demikian
وَمَنْ يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِنْ دُونِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ كَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ [الأنبياء/29]
Dan barangsiapa di antara mereka, mengatakan: "Sesungguhnya Aku adalah tuhan selain  Allah", maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim.

Setiap mukmin wajib meninggalkan dan mengingkari thaghut agar ia menjadi seorang mukmin yang lurus dan sejati.
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ  [البقرة/256]
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Ayat ini merupakan dalil bahwa ibadah kepada Allah sama sekali tidak bermanfaat, kecuali dengan menjauhi peribadahan kepada selain-Nya.

Jumat, 08 Juni 2012

Arti Ulil Amri dan Kewajiban Rakyat - Upaya Menjawab Pertanyaan


Pertanyaan:
Ustadz. Kebanyakan dari kita adalah rakyat. Dan hanya beberapa orang dari kita yang menjadi pemimpin. Mohon dijelaskan
1.        Siapa ulil amri yang disebut dalam al-Quran?
2.        Adakah kewajiban rakyat terhadap ulil amri?

Jawab
1.        Siapakah Ulil Amri itu?
Kata ulil amri disebutkan dalam al-Quran sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا [النساء/59]
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian. Lalu jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian lebih utama dan lebih baik akibatnya.
Imam ath-Thobari rahimahullah (wafat 418 H), dalam Tafsir ath-Thabari menerangkan  bahwa ulil amri adalah pemimpin negara. Demikian juga al-Qurthubi dan Imam asy-Syaukani berpendapat.
Ulil Amri adalah orang yang memiliki amanat dan tanggung jawab yang lebih luas, baik dalam masalah pemerintahan, sosial, keagamaan, keamanan, pendidikan dan segala macam bidang.
صحيح البخاري - (ج 22 / ص 42)
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ عَنْ يُونُسَ عَنْ الزُّهْرِيِّ أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي
Shahih al-Bukhari (22/42) – Telah menceritakan kepada kami ‘Abdan, telah mengabarkan kepada kami ‘Abdullah dari Yusuf dari az-Zubair, mengabari saya Abu Salamah bin Abdirrahman, ia mendengar Abu Hurairah radliallahu ‘anhu beliau bersabda, “Siapapun yang mentaatiku sungguh ia sudah taat kepada Allah, siapaun yang mendurhakaiku maka sungguh ia telah mendurhakai Allah, dan siapapun yang mentaati pemimpinku sungguh dia sudah mentaati aku, dan siapa pun yang mendurhakai pemimpinku, maka sungguh ia telah mendurhakaiku.”
Adapun makna ulil amri secara umum ialah “yang mengurusi kaum muslimin, baik memimpin secara umum seperti kepala negara, atau pemimpin secara khusus seperti kepala instansi, pemimpin pekerjaan dan semisalnya (lihat al-Huquq hal. 33)
Kesimpulannya:
Kalau di Indonesia ulul amri adalah presiden sebagai kepala negara, atau pembantu-pembantunya misalnya menteri yang membidangi bidang-bidang tertentu. Di bawah menteri ada Diren, Irjen dan lain-lain. Ada juga gubernur dan pembantu-pembantu sampai eselon terakhir. Di bawahnya ada bupati, camat, lurah, dukuh, kepala RT dan RW. Bidang pertahanan, ada Panglima TNI, KASAD, KASAU, KASAL sampai Danramil dan pembantu-pembantunya. Di bidang keamanan ada Kapolri dan seterusnya. Demikian juga di bidang-bidang lainnya. Di jalan raya ada DLLAJR, kepolisian dan lain-lain. Di bidang pendidikan ada menteri pendidikan, sampai kepala sekolah, kepala TU dan guru.

2.        Kewajiban rakyat terhadap ulil amri
Di antara kewajiban rakyat adalah:
a.      Mentaati para pemimpin bila mereka tidak memerintah untuk berbuat maksiat
b.      Tidak menghina
سنن الترمذي - (ج 8 / ص 164)
حَدَّثَنَا بُنْدَارٌ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مِهْرَانَ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَوْسٍ عَنْ زِيَادِ بْنِ كُسَيْبٍ الْعَدَوِيِّ قَالَ
كُنْتُ مَعَ أَبِي بَكْرَةَ تَحْتَ مِنْبَرِ ابْنِ عَامِرٍ وَهُوَ يَخْطُبُ وَعَلَيْهِ ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَقَالَ أَبُو بِلَالٍ انْظُرُوا إِلَى أَمِيرِنَا يَلْبَسُ ثِيَابَ الْفُسَّاقِ فَقَالَ أَبُو بَكْرَةَ اسْكُتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللَّهُ
Sunan al-Tirmidzi (8/164) – Bundar menceritakan kepada kami, Abu Dawud menceritakan kepada kami, Humaid bin Mihran menceritakan kepada kami dari Sa’di bin Uwais dari Ziyad bin Kusaib al-‘Adawi, ia berkata, “Dahulu aku bersama Abi Bakrah, Ibn ‘Amir dan ia khutbah dengan memakai pakaian tipis (transparan). Maka Abu Bilal berkata, “Lihatlah pemimpin kita. Ia memakai baju orang fasiq. Maka Abu Bakrah menjawab, “Diamlah. Aku pernah mendengar Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Barangsiapa menghina sulthan (penguasa)-Ku di muka bumi, Allah akan menghinakannya.””
c.       Menasehati pemimpin bila ia salah secara baik-baik dan tertutup
مسند أحمد - (ج 30 / ص 346)
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
Musnad Ahmad (30/346) – “Barangsiapa ingin menasehati penguasa tentang suatu urusan, janganlah menampilkannya secara terang-terangan, tetapi hendaknya menggandeng tangannya dan untuk berduaan (menyepi) dengannya. Apabila ia menerima darinya maka itulah (yang diharapkan). Kalau tidak, ia telah melaksanakan tugasnya.”
Hadist ini dengan tegas menyatakan bila kita ingin menasehati penguasa hendaknya secara sembunyi-sembunyi jauh dari keramaian dengan cara yang santun.