Minggu, 09 September 2012

Abu al-Hasan al-Asy'ari Rahimahullah Pencetus Ahlussunnah wal Jamaah?


ASY’ARIYAH ADALAH AHLUS-SUNNAH WAL JAMA’AH?
(Tinjauan Sekilas dari Aspek Sejarah)
Oleh: Sugiyanta, S.Ag, M.Pd

Pelabuhan Gorontalo - Indah
Di Indonesia
Di negeri tercinta ini, Indonesia, ada anggapan bahwa aqidah Ahlus-Sunnah adalah aqidah Asy’ariyah. Seperti telah menjadi kesepakatan umum bahwa Ahlus-Sunnah itu adalah empat madzhab fiqih dengan aqidah Asy’ariyah. Dalam bidang fiqih boleh jadi seseorang bermadzhab Hanafi, atau Maliki, atau Syafi’i atau Hanbali tetapi dalam bidang aqidah pastilah beraqidah Asy’ariah. Lalu bagaimana dengan para Imam madzhab yang empat, Imam Abi Hanifah, Imam Malih, Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal rahimhumullah? Apaka mereka semua juga menganut aqidah Asy’ariah?

Bagaimana Aqidah Imam Abu Hanifah, Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal rahimahumullah?
Timbul pertanyaan, apakah Imam Abu Hanifah, Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal rahimahumullah juga mengikuti aqidah Asy’ariah? Jawabannya pastilah tidak. Karena para Imam Madzhab tersebut tidak pernah berjumpa dengan dengan Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal rahimahullah, yang merupakan imam termuda dari keempat imam tersebut lahir pada tahun 164 H dan wafat tahun 241 H. Beliau wafat sebelum Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari rahimahullah lahir. Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari lahir tahun 260 bahkan ada yang mengatakan tahun 270 H. Jadi dapat dikatakan bahwa Imam Ahmad rahimahullan tidak mungkin mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari rahimahullah.
Bila Imam Ahmad yang paling muda di antara imam yang empat itu tidak mungkin mengikuti Imam al-Asy’ari, tentu demikian juga Imam Syafii rahimahullah (wafat tahun 204 H), Imam Malik (wafat tahun 179 H), dan Imam Abu Hanifah (wafat tahun 150 H). Walaupun mereka tidak beraqidah Asy’ariyah pastilah para Imam tersebut adalah para penegak Ahlus-Sunnah wal Jama’ah.

Aqidah Imam al-Asy’ari rahimahullah
Siapakah Imam al-Asy’ari itu
Beliau adalah Imam Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Abi Burdah bin Abi Musal al-Asy’ari atau lebih dikenal dengan nama Abu al-Hasan al-Asy’ari yang dilahirkan tahun 260 H atau 270 H dan wafat tahun 324 H.
Masa kecil dan masa muda beliau dihabiskan di kota Bashrah (kini termasuk wilayah Irak). Dahulu kota ini menjadi pusat pemikiran Mu’tazilah. Dan tidak dielakkan lagi, pada masa pertumbuhannya, beliau terpengaruh lingkungannya yang Mu’tazilah tersebut. Beliau mendalami ilmu kalam (theologi, ahlussunnah lebih senang menyebutnya aqidah) dan pemikiran Mu’tazilah dari ayah tirinya yang bernama Abu Ali al-Juba’i yang jugaseorang tokoh Mu’tazilah. Dalam bidang aqidah, kehidupan beliau  terdiri dari tiga tahap, yaitu

Tahap Pertama,
Ketika beliau memeluk madzhab Mu’tazilah selama empat puluh tahun. Beliau di bawah bimbingan ayah tiri beliau Abu Ali al-Juba’i, seorang tokoh Mu’tazilah. Kemudian beliau menyatakan keluar dari pandangan-pandangan Mu’tazilah dan menyatakan bahwa Mu’tazilah termasuk sesat dan menyesatkan. Dan beliau banyak melakukan bantahan-bantahan yang keras terhadap Mu’tazilah.
Kisah pertobatannya dari pemikiran Mu’tazilah ini sangat populer. Beliau melepas baju seraya berkata, “Aku melepaskan keyakinan Mu’tazilah dari pemikiranku, seperti aku melepaskan jubah ini dari tubuhku.” Kemudian beliau melepas jubanya yang dikenakannya. Secara simbolis ini merupakan pernytaan beliau terlepas dari pemikiran Mu’tazilah dan dari kaum Mu’tazilah.
Ibn Uzrah bercerita bahwa Abu Hasan al-Asy’ari adalah seorang bermadzhab Mu’tazilah. Dia memegang madzhab ini selama empat puluh tahun. Dalam pandangan mereka (kaum Mu’tazilah – penulis) beliau adalah seorang imam. Kemudian beliau menghilang selama lima belas hari. Tiba-tiba beliau muncul di masjid jami’ Bashrah. Dan setelah shalat Jumat, beliau naik ke atas mimbar dan berkata, “Hadirin. Aku menghilang dari kalian selama beberapa hari karena ada dalil-dalil yang bertentangan dan sama kuatnya, namun aku tidak mampu  menetapkan mana yang kuat mana yang bathil. Dan aku tidak mampu membedakan mana yang batil dan mana yang hak. Kemudian aku mohon petunjuk kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Maka Dia memberiku petunjuk, dan aku tuangkan di dalam bukuku ini. Dan aku melepaskan semua akidahku yang dulu aku pegang sebagaimana aku membuka ....” sampai akhir. Ini diceritakan olehal-Hafidz Abu al-Qasim Ali bin Hasan bin Hibatillah bin Asakir ad-Dimasyqi (wafat tahun 571, di dalam at-Tibyan.
Setelah peristiwa ini Beliau giat membantah pemikiran-pemikiran Mu’tazilah. 

Tahap Kedua,
Saat giat membantah pemikiran-pemikiran Mu’tazilah tersebut, beliau mengikuti pemahaman Abu Muhammad Abdullah bin Sa’id bin Kullab (meninggal 240) atau yang disebut pemikiran Kullabiyah. Sebuah pemahaman yang bukan Mu’tazilah murni maupun Sunnah murni. Pemahaman Kullabiyah berkembang pesat di tangan Imam al-Asy’ari oleh karenanya pemahaman ini kemudian di kenal dengan aqidah Asy’ariah. Dalam tahap ini beliau mengenalkan sifat wajib, jaiz, dan sifat yang mustahil bagi Allah. Allah subhanahu hanya terbatas memiliki sifat yang 20 saja. Namun pemikiran Asy’ariah ini masih menggunakan akal dan prinsip-prinsip logika.

Tahap Ketiga,
Setelah pindah ke Baghdad, Imam Abu Hasan al-Asy’ari bergabung dengan para murid Imam Ahmad bin Hanbal. Dan meninggalkan pemahaman Asy’ariyah dan Kullabiyah. Kemudian beliau mengikuti madzhab Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Hal ini beliau nyatakan dalam kitabnya al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah.

Pernyataan Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam kitabnya al-Ibanah Fi Ushul ad-Dinayah
Di dalam kitabnya ini beliau menyampaikan pernyataan, “Pendapat yang kami nyatakan dan agama yang kami anutbadalah berpegang teguh dengan Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya shalallahu ‘alaihi wa salam, atsar-atsar yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in, dan para imam ahli hadist. Kami berpegang teguh pada dengan prinsip tersebut.
Kami berpendapat dengan pendapat Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, semoga Allah memperelok wajah beliau, mengangkat derajat beliau dan melimpahkan pahala kepada beliau dan kami menyelisihi perkataan yang menyelisihi perkataan beliau....” dan seterusnya.

Di Antara Hal Prinsip Beliau Tentang Syifat Allah
Beliau meninggalkan keyakinan bahwa Allah hanya memiliki 20 sifat saja. Beliau seperti Imam Ahmad dan para Imam Madzhab sebelumnya bahwa Allah memiliki nama sekaligus sifat yang banyak seperti yang tertuang dalam al-Quran dan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam. Seperti Allah memiliki sifat dan nama Maha Pemurah, Maha Pengasih, Maha Suci, Maha Tinggi dan nama-nama lain seperti halnya yang tercantum dalam asma’ul husna dan nama-nama seperti yang Rasulullah sampaikan dalam hadist-hadistnya.
Allah juga memiliki sifat dan perbuatan seperti tertawa, cemburu, murkan, bersemayam, berbicara dengan makhluk-Nya (bila Allah menghendaki) dan lainnya seperti yang tercantum dalam al-Quran dan sunnah-sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam.

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar