Minggu, 11 September 2011

Antara NU dan MUhammadiyah: Hukum Keluarga Duka (karena kematian) Menjamu Pelayat


Hukum Keluarga Duka (karena kematian) Menjamu Pelayat
(Dalam Pandangan Nahdlatul ‘Ulama dan Muhammadiyah)
Oleh Sugiyanta, S.Ag, M.Pd

A.        Menurut Nahdlatul ‘Ulama
Dalam Permasalahan Thariqah (Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah Nahdlatul ‘Ulama (1957-2005 M.)) disebutkan sebagai berikut:

S (Soal – penulis):
Bagaimana pendapat muktamirin tentang menyediakan makanan pada hari wafat, dan kadang-kadang persediaan makanan itu dengan memotong kambing atau kerbau untuk menjamu para tamu yang berta’ziyah, dan persediaan makanan diambil dari harta peninggalan mayit, sedangkan ahli waris mayit masih ada yang mahjur ‘alaih, yaitu anak yatim, kemudian para tamu sama-sama makan di samping jenazah itu?

J (Jawab – penulis):
Tidak boleh dan haram demikian itu, kalau dari ahli warisnya masih ada yang mahjur ‘alaih, atau tanpa mendapat ridha dari sebagian ahli waris. Jikalau ahli waris itu sudah sama-sama mengerti harta benda (rusydu) dan mereka sudah ridha, atau hidangan itu tidak diambilkan dari harta peninggalan si mayat, maka hukumnya makruh. .... Adapun makan di samping jenazah, maka hukumnya makruh juga. Sebagaimana tersebut dalam kitab:
a.        Al-Fatawa al-Kubra
b.        I’anah al-Thalibin
c.         Risalah ashbabi al-Quwwah fi Ihsani al-Qudwah
d.        Ath-Thariqah al-Muhammadiyah
e.         Kasyfu al-Syubhat
f.          Ahkam al-Fuqaha
(lihat Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah Nahdlatul ‘Ulama (1957-2005 M.), al-Khalista, Surabaya, 2006)

B.        Menurut Muhammadiyah
Dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhamammadiyah disebutkan ... Buatlah makanan bagi kerabat mayat (60) dan janganlah berkumpul di tempat keluarga jenazah sesudah dikuburnya dimana mereka membuat makanan bagi kamu ... (lihat Himpunan Putusan Tarjih Muhamammadiyah halaman 234)

Dasarnya adalah
سنن أبي داود - (ج 8 / ص 402)حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنِي جَعْفَرُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ
Sunan Abi Dawud (8/402): ... dari Abdillah bin Ja’far, ia berkata: ‘Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Buatkan untuk keluarga Ja’far makanan, karena sesungguhnya ia sedang dalam kesusahan.”’ (lihat Himpunan Putusan Tarjih Muhamammadiyah halaman 260)

Hadist ini mengaskan bahwa:
1.         Kita diperintahkan untuk meringankan beban keluarga yang sedang kesusahan (dalam hal ini karena salah satu anggota keluarga meninggal) salah satunya yaitu dengan membuatkan makanan bagi mereka
2.         Maka salahlah kalau kita datang melayat, kita menikmati apa yang dihidangkan oleh tuan rumah. Karena semestinya pelayatlah yang membuat makanan bagi yang sedang kesusahan

Juga hadist:
مسند أحمد - (ج 14 / ص 149) حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ بَابٍ عَنْ إِسْمَاعِيلَ عَنْ قَيْسٍ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ
Musnad Ahmad (14/149): ... dari Jarir bin ‘Abdillah al-Bajali, ia berkata: “Kami menganggap berkumpul di rumah keluarga yang kematian dan mengadakan jamuan sesudah mayat dikubur termasuk ratapan (yang dilarang).” (lihat Himpunan Putusan Tarjih Muhamammadiyah halaman 260)

Jarir bin ‘Abdillah al-Bajali termasuk salah satu sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam. Darinya kita mengetahui bahwa para Sahabat tidak senang berkumpul-kumpul di rumah duka dan juga jamuan oleh keluarga yang kematian oleh keluarga yang kematian. Dan menganggapnya sama dengan meratap (niyahah).

Muhammadiyah secara langsung tidak mengatakan adanya larangan bagi keluarga si mayat membuat hidangan bagi pelayat akan tetapi menilik hadist di atas sebagai acuhan dalam berpendapat, pelayatlah yang semestinya membuat hidangan baik sebelum dan sesudah jenazah dimakamkan. Dan dapat dipahami bahwa Muhammadiyah tidak menyetujui aktifitas pembuatan hidangan bagi pelayat oleh keluarga yang sedang duka.

Kesimpulan:
Dalam menghukumi permasalahan keluarga duka (karena kematian) menjamu pelayat Nahdlatul ‘Ulama berpendapat bahwa perbuatan tersebut haram setidaknya makruh (dibenci). Demikian juga hukum pelayat makan hidangan yang disediakan oleh keluarga yang sedang berduka. Adapun Muhammadiyah tidak menghukuminya tetapi memilih untuk meninggalkan hal yang demikian. Jadi seyogyanya kita meninggalkannya karena kalau perbuatan itu haram maka mengerjakan dosa dan kalau meninggalkannya kita mendapat pahala, kalaupun makruh kalau kita meninggalkannya kita mendapat pahala dan kalau kita mengerjakannya kita dibenci oleh agama ini. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar