Dalam Shalat Jamaah: Basmallah (bismillahirr-hmanir-rahim) dibaca atau tidak?
Secara umum, setiap orang yang sedang mengerjakan shalat wajib membaca bismillahir-rahmanir-rahim. Begitulah yang dikerjakan para sahabat radliallahu ’anhum. Seperti yang dilakukan Abu Hurairah radliallahu ’anhu. Hadist dari Nuaim Mujmir menerangkan bahwa ia berkata:
صلَيْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَرَأَ :بسم الله الرحمن الرحيم …
Nuaim Mujmir berkata, “Aku shalat dan di belakang Abu Hurairah radhiallahu’anhu, maka ia membaca, “Bismil-lahir-rahmanir-rahim … (HR Ibnu Khuzaimah)
Yang menjadi masalah adalah apakah Abu Hurairah radliallahu ‘anhu membanya dengan keras (jahr) sehingga terdengar keras oleh makmum dibelakangnya (termasuk Nuaim Mujmir) ataukah Abu Hurairah radliallahu ‘anhu membacanya lirih (sirr) tetapi masih terdengar makmum dibelakangnya walaupun hanya terdengar lirih dan tidak keras.
Melihat hadist yang lain, rupanya Basmallah mesti dibaca pelan walaupun ketika shalat yang bacaannya harus dibaca keras seperti shalat Maghrib, Isya, Shubuh, shalat Jumat juga shalat Idain.
Perhatikan hadist berikut:
وعن أَنَسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِي صل الله عليه وسلم وَأَبَا بَكْرٍ وَ عُمَرَ كَانُوا يَفْتَتَحُونَ الصَّلاَةَ بِالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَلَمِين…
Dari Anas bahwa Nabi r, Abu Bakr, dan Umar memulai shalat dengan (membaca): al-hamdulillahi rabbil-‘alamiin … (HR Bukhari dan Muslim, lih. Bulughul Maram, hadist no. 298)
Jelas sekali di sini, bahwa Nabi shalallahu ’alaihi wa salam, Abu Bakr dan Umar al-Khaththab radliallahu ’anhuma tidak mengeraskan bacan Basmallah.
Imam Muslim meriwayatkan demikian:
زَادَا مسلم: لاَ يَذْكُرُوْنَ بسم الله الرحمن الرحيم فِي أَوَّلِ قِرَاَءةِ وَ لاَ فِي أَخِرِه.
Muslim menambahkan: Mereka tidak membaca bismillahir-rahmanir-rahim baik pada awal bacaannya ataupun akhirnya (Ibid hadist no. 299).
Juga karena hadist:
و في رِوَايَةِ لأحمد و النسائي و ابْنِ خُزَيْمَةَ: لاَ يَجْهَرُونَ بسم الله الرحمن الرحيم
Dalam riwayat Ahmad, an-Nasai dan Ibn Huzaimah: Mereka tidak mengeraskan bismillahirahmanirrahim (Ibid hadist no 299)
Juga karena hadist:
وَِفي أُخْرَى لابْنِ خُزَيْمَةَ : كَانُوا يُسِّرُونَ. وَعَلَى يُحْمَلَ النَّفْيُ فِي رِوَايَةِ مُسْلِمٍ…
Dalam suatu hadist lain riwayat Ibnu Huzaimah: Mereka membaca dan amat pelan(Ibid hadist no 230).
Pengertian ini (membaca dengan amat pelan) diarahkan pada bahwa Nabi shalallahu ’alaihi wa salam, Abu Bakr dan Umar al-Khaththab radliallahu ’anhu tidak membaca dengan keras tetapi membacanya dengan sirr/pelan sekedar seperti berbisik. Barangkali begitulah Nuaim Mujmir mendengar bacaan Abu Hurairah radliallahu ’anhu membaca Basmallah dalam shalat jamaahnya.
Kesimpulan:
1. Diperintahkan basmallah sebelum membaca al-Fatihah pada rakaat pertama
2. Adapun bagi imam hendaknya mencontoh perbuatan Nabi shalallahu alaihi wassalam dan para sahabatnya (Abu Bakar, Umar, Ustman radliallahu ‘anhum) yaitu tidak menyaringkan bacaan bismillahir-rahmanirrahim
Imam setelah takbir hendaklah memulai (dengan nyaring) bacaan alhamdu-lillahirabil-’alamin.
sebenernya apa yang anda paparkan itu masalah khilafiyah di kalangan para ulama.
BalasHapusAda yang mengatakan bahwa bacaan basmalah itu harus dibaca keras, persis seperti yang kebanyakan dibaca di negeri kita oleh para imam shalat.
Tapi ada juga yang mengatakan tidak perlu dibaca keras, cukup dibaca lirih saja. Bahkan ada juga yang sama sekali tidak membaca, karena basmalah itu dianggapnya bukan bagian surat Al-Fatihah.
Dan sekarang masalahnya hadits-hadits yang ada malah saling bertentangan. Karena itulah para ulama yang membaca hadits-hadits yang bertentangan itu juga akhirnya ikut-ikutan bertentangan.
Dari Anas bin Malik ra berkata bahwasanya Nabi SAW dan Abu Bakar dan Umar, mereka memulai shalat dengan Alhamdulillahi rabbil 'alamin." (HR Bukhari-Muslim)
selain itu ada hadits:
Dari Nuaim berkata, “Aku melaksanakan salat di belakang Abu Hurairah. Ia membaca bismillahirrahmanirrahim lalu membaca ummul quran (al-Fatihah). Di akhir hadits tersebut ia berkata, ‘Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya salatku paling mirip dengan yang dilakukan oleh Rasulullah saw.’”(HR al-Nasa’I, Ibn Khuzaymah, dan Ibn Hibban)
Karena tiap ulama yang mujtahid itu ternyata punya dalil masing-masing yang sama-sama kuat tentang hukum mengeraskan bacaan basmalah dalam shalat. Dan karena dalil masing-masing cukup kuat, akhirnya sulit untuk mendapatkan kata akhir yang mutlak.
Menurut saya, sebetulnya hadist-hadist itu tidak bertentangan. Ada beberapa kemungkinan pertama: nabi memang melakukannya berbeda-beda, kedua: mungkin beberapa hadist itu perlu digabungkan, ketiga: mungkin derajat hadistnya ada yang shahih ada pula dlaif, atau maudlu.
BalasHapusmenanggapi komentar bapak : "Ada beberapa kemungkinan pertama: nabi memang melakukannya berbeda-beda,"
BalasHapusberarti tidak ada salahnya kan kalo sholat membaca basmalah secara keras?? (dan saya setuju kalo basmalah dibaca secara keras) hehe
Dalam perdebatan membaca basmalah secara sirr atau jahar, saya perhatikan selalu berdasarkan hadist yang dikemukakan sebagai landasannya. Namun, kita lupa menelusuri mengapa hadist itu lahir? Tentu punya sejarah dan ada alasannya. Mungkin kita bisa menemukan kebenarannya bukan pembenaran.
BalasHapusSaya lebih setuju membaca basmalah itu di jaharkan. Pantaskah kita harus berbisik dan seakan-akan malu mengucapkan dengan lantang bahwa Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang disaat bacaan itu boleh di jaharkan? Dan pantaskah kita membedakan status dan derajat ayat-ayat dalam surat yang dinyatakan sebagai ummulqur'an? Kalamullah, Firman Allah. Subhanallah...