Amalan-Amalan Bulan Sya’ban
Oleh Sugiyanta, S.Ag, M.Pd
Sebentar lagi bulan Sya’ban datang. Kemudian bulan yang ditunggu-tunggu, Ramadlan. Lalu apa yang mesti kita perbuat:
1. Bersungguh-sungguh menentukan tanggal 1 Sya’ban
Hal ini harus dilakukan guna mempermudah dalam penentuan awal Ramadlan. Karena sesuai Rasulullah sabdakan bahwa satu bulan kadang-kadang berjumlah dua puluh sembilan hari kadang-kadang tiga puluh hari. Hal ini sesuai dengan ilmu astronomi bahwa bulan mengitari bumi selama 29,5 .. hari. Pada hari ke-dua puluh sembilan umat Islam melakukan ru’yatul hilal untuk menentukan apakah esoh hari sudah bulan baru (Ramadlan) ataukah masih tanggal tiga puluh sya’ban.
2. Berdoa menyambut hilal baru
Sebagaimana yang disebutkan dalam:
سنن الترمذي - (ج 11 / ص 347) حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ سُفْيَانَ الْمَدِينِيُّ حَدَّثَنِي بِلَالُ بْنِ يَحْيَى بْنِ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَأَى الْهِلَالَ قَالَ اللَّهُمَّ أَهْلِلْهُ عَلَيْنَا بِالْيُمْنِ وَالْإِيمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ رَبِّي وَرَبُّكَ اللَّهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ
Sunnad at-Tirmidzi – (11/347) – menceritakankan kepada kami Muhammad bin Basysyar, menceritakan kepada kami Abu ‘Amir al-‘Aqadi, menceritakan kepada kami Sulaiman bin Sufyan al-Madini, menceritakan kepadaku Bilal bin Yahya bin Thalhah bin ‘Ubaidillah dari ayahnya dari kakeknya Thalhah bin ‘Ubaidillah: bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam dulu bila melihat hilal, beliau berkata:(اللَّهُمَّ أَهْلِلْهُ عَلَيْنَا بِالْيُمْنِ وَالْإِيمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ رَبِّي وَرَبُّكَ اللَّهُ) Ya Allah, terbitkanlah hilal itu kepada kami, dengan keberkahan, keimanan, keselamatan, dan keislaman. (Jadikanlah dia) hilal kebaikan dan petunjuk. Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah. Abu ‘Isa berkata: hadist ini hasan gharib
Catatan: Doa ini bukan doa khusus bulan Ramadlan, tetapi doa setiap kita melihat hilal.
3. Mengganti puasa Ramadlan sebelumnya yang tertinggal.
Sungguh melalui hadist shahih Ummul Mu’minin Aisyah radliallahu ‘anha sering mengganti puasa Ramadlan yang tertinggal pada bulan Sya’ban karena bulan-bulan sebelumnya beliau lebih banyak bertugas mendampingi Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam.
4. Memperbanyak puasa
صحيح البخاري - (ج 7 / ص 78) حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي النَّضْرِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
Dalam Shahih al-Bukhari – (7/78) menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, mengabarkan kepada kami Malik dari Abi an-Nashr dari Abi Salamah dari ‘Aaisyah radlallahu ‘anhu: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam selalu berpuasa hingga kami berkata: Beliau tidak pernah berbuka. Beliau selalu berbuka hingga kami berkata: Beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah melihat Rasulullah shalallahu alaihi wa salam berpuasa sebulan penuh kecuali Ramadlan, dan aku tidak pernah melihatnya memperbanyak puasa kecuali dalam Sya’ban.
Dan masih banyak lagi hadist yang menerangkan untuk memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban.
5. Tidak perlu melakukan puasa nishfu sya’ban.
Puasa nishfu sya’ban adalah puasa yang dilakukann pada tanggal 13, 14, 15 bulan sya’ban dengan keyakinan bahwa Allah akan turun ke bumi saat matahari terbenam dan akan mengampuni dosa-dosa orang yang melakukan puasa pada pertengahan Sya’ban, seperti hadist-hadist berikut:
إذا كانت ليلة النصف من شعبان، فقوموا ليلها، وصوموا يومها: فإن الله تبارك و تعالى ينزل فيها الشمس إلى السماء الدنيا، فيقول: ألا من مستغفر فأغفرله، …
Apabila datang malam nishfu sha’ban (pertengahan bulan Sya’ban), maka lakukanlah sholat di malamnya, dan berpuasalah di siang harinya. Sebab Allah tabaroka wa ta’ala turun ke langit dunia pada waktu terbenamnya matahari, dan berkata: Adakah orang yang meminta ampunan sehingga Aku akan mengampuninya. …(HR Ibn Majjah)
Hadist ini diriwayatkan Imam Ibn Majjah dalam Sunannya hadist no. 1388. Akan tetapi para ulama hadist menegaskan bahwa hadist ini dhaif jiddan (lemah sekali) atau bahkan maudlu (palsu). Dalam jalur sanadnya ada Abu Bakr bin Abdullah bin Muhammad bin Ibn Abi Sabrah. Para ulama menuduhnya telah memalsukan hadist. Imam Ahmad, Imam Ibn Hibban, Imam al-Hakim dan Ibn ‘Adli menuduhnya sebagai pemalsu hadist, sebagaimana disebutkan dalam Tahdzib at-Tahdzib. Menurut Imam al-Mundziri, hadist tersebut dhaif. Demikian pula menurut al-Bushairy dalam Kitab Zawaid Ibn Majjah. Kesimpulan hadist tersebut dhaif (lemah) atau bahkan maudhu (palsu). Wallahu a’lam bishawab. (Dinukil dari Bagaimana Memahami Hadist Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam karya DR. Yusuf Qardhawi, Karisma, Bandung, 1999, lihat Juga Puasa Sunnah Hukum dan Keutamaannya, Karya Usamah Abdul Aziz, Darul Haq, Jakarta, 2004, Hal 62.)
Atau mungkin berkeyakinan bahwa puasa nishfu sya’ban sama dengan puasa selama 120 tahun seperti yang dkatakan oleh hadist palsu berikut:
Ali bin Abi Thalib radliallahu ’anhu bahwa Rasulullah bersabda:
فإنْ أصْبح فِي ذلك اليومِ صائما كانَ كِصيامِ سِتِّينَ سَنَةً مَاضِيَةً و ستين سنة مُسْتَقْبَلَةً
Bila pada hari itu seseorang berpuasa maka ia seperti berpuasa selama enam puluh tahun yang lalu dan enam puluh tahun yang akan datang. HR Ibn al-Jauzi dalam al-Maudlu’at (hadist-hadist palsu) Hadist ini dikumpulkan oleh Ibn al-Jauzi dalam kitab al-Maudlu’at yaitu kitab memuat hadist-hadist palsu. Jadi hadist di atas MAUDLU atau palsu.
Hadist-hadist berkenaan dengan puasa Nisfu Sya’ban berderajad dlaif/lemah dan maudlu/palsu. Sehingga tidak syah melaksanakan puasa nisfu sya’ban berdasarkan hadist tersebut. Keutamaan puasa nisfu Sya’ban sama dengan puasa pertengahan bulan (puasa putih yaitu tanggal 13, 14, 15) sama dengan keutamaan pertengahn bulan lainnya.
6. Tidak perlu melakuan shalat alfiyah
Shalat alfiyah adalah shalat malam yang dilakukakan pada pertengahan guna menghidup-hidupkan pertengahan Sya’ban. Disebut shalat alfiyah atau shalat seribu karena di dalam shalat malam yang dilakukan dalam 100 rakaat itu dibacakan surat al-Ikhlas seribu kali yaitu setiap rakaatnya membaca surat al-Ikhlas 10 kali.
Adapun hadist-hadist yang berkenaan dengan shalat nishfu sya’ban berdasarkan hadist palsu berikut:
سنن ابن ماجه - (ج 4 / ص 301)حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا ابْنُ أَبِي سَبْرَةَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِي فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Dalam Sunan Ibn Majah (4/301) – Menceritakan kepada kami al-Hasan bin ‘Ali, menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaq menegaskan kepada kami dari Ibn Abi Sabrah dari Ibrahim bin Muhammad dari Mu’awiyah bin ‘Abdillah bin Ja’far dari ayahnnya dari ‘Ali bin Abi Thalib, ia berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: Bila malam pertengahan bulan Sya’ban tiba maka lakukanlah shalat di malamnya dan puasa pada siangnya, karena sesungguhnya Allah turun pada malam itu saat matahari tenggelam ke langit dunia, lalu berfirman: Adakah orang memohon ampun? Maka Aku pasti mengampuninya, Adakah orang yang meminta-minta? Maka Aku pasti memberinya. Adakah orang yang tertimpa musibah? Maka Aku pasti menyelamatkannya. Adakah seperti ini? Adakah seperti ini? Hingga tebit fajar.
Akan tetapi hadist ini dhaif jiddan/lemah sekali. Sisi kelemahan hadist ini pada Ibn Abi Sabrah (beliau adalah Abu Bakar bin Abdillah bin Muhammad bin Ibn Abi Sabrah). Ibn Ma’in mengatakan: Hadistnya sangat lemah. Ibn al-Madini berkata: Dia perwai yang lemah hadistnya. Ibn Adi berkata: mayoritas riwayatnya tidak shahih dan dia termasuk para pemalsu hadist.
الموضوعات - (ج 2 / ص 127) أما طريق على عليه السلام: أنبأنا محمد بن ناصر الحافظ أنبأنا أبو على الحسن بن أحمد بن الحسن الحداد أنبأنا أبو بكر أحمد بن الفضل بن محمد المقرى أنبأنا أبو عمرو عبدالرحمن بن طلحة الطليحى أنبأنا الفضل بن محمد الزعفراني حدثنا هارون بن سليمان حدثنا على بن الحسن عن سفيان الثور عن ليث عن مجاهد عن على بن أبى طالب عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال - ما يملى - ) يا على ( من صلى مائة ركعة في ليلة النصف، يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب وقل هو الله أحد عشر مرات قال النبي صلى الله عليه وسلم: يا على ما من عبد يصلى هذه الصلوات إلا قضى الله عز وجل له كل حاجة
Dalam Kitab al-Maudlu’at karya Ibnul Jauzi (2/129) – melaui jalur Ali ‘alaihis-salam: Muammad bin Nashir al-Hafidz – Abu Ali al Hasan bin Ahmad bin al-Hasan al-Hadad – Abu Bakar bin al-Fadhl bin Muhammad al-Mukri – Abu Amru ‘Abdurrahman bi Thalhah al-Thalihi – al-Fadhl bin Muhammad al-Za’farani – Harun bin Sulaman – Ali bin al-hasan dari Sufyan ats-Tsauri dari Laits dari Mujahid dari Ali bin Abi Thalib dari Nabi shalallahu ‘aialihi wa salam, bahsanya beliau bersabda: Wahai ‘Ali. Siapa yang shalat seratus rakaat dalam malam nishfu (pertengahan sya’ban), dengan membaca pada setiap rakaatnya dengan al-Fatihah dan ‘qul huwallahu ahad seratus kali? Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam: Wahai ‘Ali tidaklah dari seorang hamba melakukan shalat dengan shalat ini kecuali Allah ‘aza wa jala akan memenuhi baginya seluruh keperluannya.
Ibnul Jauzi menuliskannya dalam al-Maudhu’at karena keyakinannya bahwa hadist ini maudhu’/palsu. Ibnul Qayyim dalam al-Manarul Munif (hal 98-99) berkata: Diantara contoh hadist-hadist maudhu’ adalah tentang shalat nishfu sya’ban. ... Padahal shalat seperti ini baru disusupkan dalam Islam setelah tahun 400 h ... Imam an-Nawawi dalam Fatawa (hal 26) berkata: Shalat Rajab dan Sya’ban keduanya merupakan bid’ah yang jelek dan munkar.
7. Tidak mengkhususkan ziarah kubur pada bulan Sya’ban
Sebagaimana diketahui ziarah kubur diperbolehkan untuk dua manfaat. Yaitu ibrah (pelajaran – bahwa kita akan mati), mendoakan orang Islam yang meninggal. Ziarah kubur diperbolehkan kapan saja dan dimana saja asalkan yang berdekatan dengan rumah kita atau kebetulan saja kita lewat kuburan. Adapun menyengaja mengunjungi kuburan para orang shalih yang jauh-jauh (seperti ziarah wisata) tidak ada contoh dari Nabi atau shahabat yang melakukannya. Demikian juga mengkhususkan ziarah kubur pada bulan Sya’ban, juga tidak pernah dicontohkan oleh nabi dan para shahabat.
Meyakini mengunjungi makam tertentu pada waktu tertentu dengan keutamaan tertentu harus disertai dalil-dalil dari as-Sunnah al-Makbulah.
8. Tidak melakukan puasa satu dua hari untuk mendahului puasa Ramadlan sebagai bentuk kehati-hatian.
Sungguh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam melarang melakukannya.
سنن الترمذي - (ج 3 / ص 109) حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ الْأَشَجُّ حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ عَنْ عَمْرِو بْنِ قَيْسٍ الْمُلَائِيِّ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ صِلَةَ بْنِ زُفَرَ قَالَ كُنَّا عِنْدَ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ ... فَقَالَ عَمَّارٌ مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يَشُكُّ فِيهِ النَّاسُ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dalam Sunnan al-Tirmidzi (3/109) – menceritakan kepada kami Abu Sa’id Abdullah bin Said al-Asyajj mengabarkan kepada kami Abu Khalid al- Ahmar dari Amr bin Qais al-Mulai dari Abi Ishaq dari Shilah bin Zufar, ia berkata: Dulu kami bersama ‘Ammar bin Yasir ... maka ‘Ammar berkata: Barangsiapa puasa pada hari yang manusia ragukan sungguh dia sudah durhaka kepada Abu al-Qasim shalallahu alahi wa salam.
Hari yang manusia ragukan adalah hari sesudah tanggal 29 Sya’ban yaitu ketika saat itu orang-orang ragu-ragu apakah hari itu tanggal 30 Sya’ban ataukah 1 Ramadlan. Islam mengatur hendaknya kita puasa sesudah kita yakin bahwa saat itu sudah tanggal 1 Ramadlan yaitu ditandai terlihatnya hilal pada maghrib. Dan Abu al-Qasim adalah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam. Wallahu a’lam bishshawab