Senin, 02 Juli 2012

BERHATI-HATI TERHADAP AMALAN BULAN SYA’BAN

BERHATI-HATI TERHADAP AMALAN BULAN SYA’BAN
Oleh: Sugiyanta, Purwosumarto S.Ag, M.Pd

Nyadran/Ruwahan/Ziarah Kubur
Nyadaran disebut juga ruwahan sering diawali dengan bersih-bersih makam. Ada juga yang membangun kuburan dengan membuat kubah atau sekedar cungkup (rumah kecil). Atau sekedar renovasi atau mengecat batu nisan. Ini biasanya dilakukan pada tanggal 15 Sya’ban, dilanjutkan dengan selamatan berupa kenduri atau hidangan tumpeng, atau lainnya seperi kolak, apem, nasi ketan. Kadang di beberapa daerah ada juga yang menyembelih kurban, biasanya berupa kambing, tapi ada juga yang berupa ayam, bahkan sapi yang ditujukan kepada mayat yang dikubur, ada juga yang lalu kepala ditanam sebagai sesaji, dan dagingnya dimasak dan kemudian dimakan di kuburan. Pengajian juga sering diadakan di kuburan dengan mengundang kiai dari luar daerah, atau kiai setempat.
Selamatan dibuat agar Allah, ada juga yang berpendapat ditujukan kepada roh leluhur, atau yang “menunggu” kampung, agar penduduk desa diberikan keselamatan, jauh dari balak.
Setelah itu para penduduk ziarah ke kuburan orang tua, nenek moyang, para wali, nenek moyang, juga kepada orang yang dianggap alim, kuburan pejabat. Ini biasa berlangsung setelah tanggal 15 hingga akhir Sya’ban. Hal ini dilakukan dengan membaca al-Quran, shalat, iktikaf, bahkan thawaf (mengelilingi kuburan)
Beberapa masalah yang terjadi
1.        Membangun kuburan
Sungguh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam melarang kita
a.      Mengecat/mengapur kuburan
b.      Membangun kuburan
صحيح مسلم - (ج 5 / ص 90) حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْه
Shahih Muslim (5/90) - ... dari Abi az-Zubair dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam melarang mengecat kubur, duduk di atasnya dan membangunnya

c.       Menulisi kuburan
سنن أبي داود - (ج 9 / ص 30)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرًا يَقُولُ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَقْعُدَ عَلَى الْقَبْرِ وَأَنْ يُقَصَّصَ وَيُبْنَى عَلَيْهِ. حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَا حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى وَعَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ بِهَذَا الْحَدِيثِ قَالَ أَبُو دَاوُد قَالَ عُثْمَانُ أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ وَزَادَ سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى أَوْ أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْه
Sunan Abi Dawud – (9/30) ... bahwa Abu az-Zubair mendengar Jabir berkata, “Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam melarang duduk-duduk di atas kubur, mengecatnya, membangunnya.
Musadad dan ‘Utsman bin Abi Syaibah menceritakan kepada kami, berkata, “Hafsh bin ‘Ibast dari Abi Juraij dari Sulaiman bin Musa dan dari Abi az-Zubair dari Jabir dengan hadist ini, Abu Dawud berkata, “Ustman berkata, “Atau menambahnya,” dan Sulaiman bin Musa menambahkan, “Atau menulisinya.”

d.     Membangunkan rumah/cungkup/kubah untuk kuburan
Di samping bertentangan dengan hadist di atas, hal ini juga ditentang oleh Ibn ‘Umar seorang sahabat Rasul
صحيح البخاري - (ج 5 / ص 147) وَأَوْصَى بُرَيْدَةُ الْأَسْلَمِيُّ أَنْ يُجْعَلَ فِي قَبْرِهِ جَرِيدَانِ وَرَأَى ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فُسْطَاطًا عَلَى قَبْرِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَقَالَ انْزِعْهُ يَا غُلَامُ فَإِنَّمَا يُظِلُّهُ عَمَلُه
Shahih al-Bukhari (5/147) - ... dan Ibn ‘Umar radliallahu ‘anhuma melihat sebuah tenda di atas kubur Abdirrahman, maka ia berkata, “Copotlah wahai anak muda, sesungguhnya yang melindunginya hanyalah amalannya.

2.        Kenduri – minta keselamatan kepada Allah, tetapi juga dengan lainnya.
Kita semua mengerti  bahwa kenduri adalah peninggalan agama atau keyakinan sebelum datangnya Islam. Kita semua juga tahu bahwa asal kenduri adalah sesaji. Kita juga tahu bahwa setiap kenduri dipastikan disediakan sesaji. Lalu untuk siapa sesaji dipersembahkan.
a.      Untuk Allah
b.      Untuk selain Allah (roh nenek moyang, atau jin)
c.       Untuk Allah dan selainnya
Padahal sesaji dibicarakan dalam al-Quran
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا فَمَا كَانَ لِشُرَكَائِهِمْ فَلَا يَصِلُ إِلَى اللَّهِ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَى شُرَكَائِهِمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُون [الأنعام/136]
Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami." Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.
Ternyata sesaji-sesaji itu tak akan pernah sampai kepada Allah. Bahkan ada pula orang yang bersesaji guna minta pertolongan kepada jin. Dan al-Quran pun membicarakan hal ini.
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا [الجن/6]
Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.

3.        Menyembelih binatang di kuburan
Seorang Sahabat radliallahu ‘anhu menceritakan bahwa dahulu orang-orang jahiliyah sering menyembelih kurban (sapi dan domba) di kuburan. Dan itu dilarang oleh agama ini.
سنن أبي داود - (ج 9 / ص 26) حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُوسَى الْبَلْخِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا عَقْرَ فِي الْإِسْلَامِ. قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ كَانُوا يَعْقِرُونَ عِنْدَ الْقَبْرِ بَقَرَةً أَوْ شَاةً
Sunan Abi Dawud (9/26) - ... dari Tsabit dari Anas, ia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Tidak ada penyembelihan (di kubur) dalam Islam. Abdurrazak (seorang sahabat) berkata, “Dahulu (pada zaman Jahiliyah), mereka biasa menyembelih sapi atau kambing di sisi kubur.”
4.        Makan-makan di kuburan
Adapun makan-makan di kubur, adalah perbuatan yang tak layak dilakukan oleh kaum Muslimin
5.        Pengajian di kuburan – membaca al-Quran, shalat dan i’tikaf di kuburan
Pengajian di kuburan tak akan lepas duduk-duduk di kuburan, sesuatu yang dilarang seperti hadist yang sudah disebut di atas, demikian juga membaca al-Quran, dan i’tikaf (berdiam diri di sisi kuburan sambil berdoa atau bahkan bertawasul dan beristighatsah kepada yang telah mati).
a.      Larangan membaca al-Quran di kuburan
Pada bulan Sya’ban banyak peziarah kubur yang membacakan surat al-Fatihah, al-Ikhlas, al-Falaq, an-Nas juga Yasin. Bahkan ada pula yang mengkhatamkan membaca al-Quran di kuburan.
Kuburan bukanlah tempat untuk membaca al-Quran berdasarkan:
صحيح مسلم - (ج 4 / ص 182)حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ وَهُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْقَارِيُّ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
Shahih Muslim (4/182) - ... dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Jangan jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Sesungguhnya setan itu lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat al-Baqarah.
Hadist ini mengisyaratkan bahwa kuburan bukanlah tempat untuk membaca al-Quran. Oleh karenanya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam menganjurkan untuk membaca al-Quran di rumah dan melarang menjadikannya seperti di kuburan, yang tidak pernah dibacakan al-Quran.
b.      Perihal hadist membaca surat Yasin di kuburan
Teks hadist:
أخبار أصبهان - (ج 10 / ص 123) حدثنا أبو محمد بن حيان ، ثنا أبو علي بن إبراهيم ، ثنا أبو مسعود يزيد بن خالد ، ثنا عمرو بن زياد البقال الخراساني بجنديسابور ، ثنا يحيى بن سليمان ، عن هشام بن عروة ، عن أبيه ، عن عائشة ، عن أبي بكر الصديق ، رضي الله عنهما قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : من زار قبر والديه في كل جمعة فقرأ عندهما ، أو عنده يس ، غفر له بعدد كل آية أو حرف
Akhbar Ashbahan (k’arya Abu Nu’aim) (10/123) – Abu Muhammad bin Hayan – Abu ‘Ali bin Ibrahim – Abu Mas’ud Yazid bin Khalid – ‘Amru bin Ziyad al-Bikal al-Khurasani Jindisaburi – Yahya bin Sulaiman – dari Hisyam bin ‘Urwah – dari ayahnya – dari ‘Aisyah – dari Abi Bakr ash-Shidiq radliallahu ’anhuma, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Siapa yang menziarahi kubur kedua orang tuanya setiap Jumat lalu membaca di sisi keduanya, atau di sisinya surat Yasin, akan diampuni sebanyak jumlah ayat dan huruf yang dibacanya.”
Akan tetapi hadist ini – Maudlu (palsu) karena adanya perawi bernama Amru bin Ziyad. Dia termasuk pemalsu hadist. Dan Ibn Adi mengatakan bahwa dia batil.

c.       Perihal shalat menghadap kuburan
صحيح مسلم - (ج 5 / ص 94) حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ السَّعْدِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ ابْنِ جَابِرٍ عَنْ بُسْرِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ وَاثِلَةَ عَنْ أَبِي مَرْثَدٍ الْغَنَوِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا
Shahih Muslim (5/94) - ... dari Abi Martsad al-Ghanawi, ia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Janganlah kalian duduk di atas kubur dan janganlah kalian shalat menghadapnya.””

d.     I’tikaf/duduk-duduk di kuburan
Sesuai dengan hadist di atas, duduk di kuburan tidak diperkenankan, maka sewajarnya kita meniru Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam.
مسند أحمد - (ج 50 / ص 127)
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ أَبِي عَلْقَمَةَ عَنْ أُمِّهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَت خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَأَرْسَلْتُ بَرِيرَةَ فِي أَثَرِهِ لِتَنْظُرَ أَيْنَ ذَهَبَ قَالَتْ فَسَلَكَ نَحْوَ بَقِيعِ الْغَرْقَدِ فَوَقَفَ فِي أَدْنَى الْبَقِيعِ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ ثُمَّ انْصَرَفَ فَرَجَعَتْ إِلَيَّ بَرِيرَةُ فَأَخْبَرَتْنِي فَلَمَّا أَصْبَحْتُ سَأَلْتُهُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ خَرَجْتَ اللَّيْلَةَ قَالَ بُعِثْتُ إِلَى أَهْلِ الْبَقِيعِ لِأُصَلِّيَ عَلَيْهِم
Musnad Ahmad (50/127) - ... dari ‘Aisyiyah, bahwa dia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam keluar pada pertengahan malam, maka aku mengutus Barirah untuk melihat ke mana Rasulullah pergi. Ia berkata, “Rasulullah berhenti di dekat Baqi’ Gharqad kemudian berhenti di bagian terdekat dari Baqi’ kemudian mengangkat tangannya … Aku (Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam) diutus kepada Ahli Baqi’ untuk mendoakan mereka. (HR Ahmad dalam Musnadnya 6/92 dan Nasai dalam Sunannya 1/287 dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani)

e.      Larangan sholat di kuburan
سنن أبي داود - (ج 2 / ص 83)حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ ح و حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ مُوسَى فِي حَدِيثِهِ فِيمَا يَحْسَبُ عَمْرٌو إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْحَمَّامَ وَالْمَقْبَرَةَ
Sunan Abi Dawud (2/83) - ... dari Abi Sa’id, ia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Bumi seluruhnya masjid kecuali kamar mandi dan kuburan.

6.        Mengkhususkan ziarah kubur pada bulan Sya’ban saja
Ini adalah sebuah kekeliruan. Karena tidak ada dalil apapun yang menerangkan bulan Sya’ban lebih utama untuk ziarah kubur dibanding bulan lainnya
سنن أبي داود - (ج 5 / ص 418) حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ قَرَأْتُ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نَافِعٍ أَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ
Sunan Abi Dawud (5/418) - ... dari Abi Hurairah, ia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam berkata, “Jangan jadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan, jangan kalian kuburanku hari raya, dan bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya shalawat kalian akan sampai padaku dimanapun kalian berada.””
Kata ‘idan berarti perayaan yang selalu berulang setiap tahunnya. Jadi melakukan ziarah kubur nabi dan kubur siapapun yang dilakukan secara berkala (misalnya: setiap sya'ban bagi orang Jawa Tengah/Jogja, setiap Idul Fithri bagi sebagian orang Jakarta, setiap Muharram atau Rajab bagi orang Jatim) disebut ‘idan atau hari raya.

7.        Puasa Nisfu Sya’ban
Memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban merupakan salah satu sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam yang semesinya kita pun ikut melaksanakan, karena adanya hadist berikut:
صحيح البخاري - (ج 7 / ص 78) حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي النَّضْرِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
Dalam Shahih al-Bukhari – (7/78) menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, mengabarkan kepada kami Malik dari Abi an-Nashr dari Abi Salamah dari ‘Aaisyah radlallahu ‘anhu: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam selalu berpuasa hingga kami berkata: Beliau tidak pernah berbuka. Beliau selalu berbuka hingga kami berkata: Beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah melihat Rasulullah shalallahu alaihi wa salam berpuasa sebulan penuh kecuali Ramadlan, dan aku tidak pernah melihatnya memperbanyak puasa kecuali dalam Sya’ban.
Tetapi berpuasa khusus untuk pertengahan bulan Sya’ban (nisfu sya’ban) hendaknya dihindari karena tidak ada hadist shahih yang menerangkannya. Puasa nishfu sya’ban adalah puasa yang dilakukann pada tanggal 13, 14, 15 bulan sya’ban dengan keyakinan bahwa Allah akan turun ke bumi saat matahari terbenam dan akan mengampuni dosa-dosa orang yang melakukan puasa pada pertengahan Sya’ban, seperti hadist-hadist berikut:
سنن ابن ماجه - (ج 4 / ص 301) حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا ابْنُ أَبِي سَبْرَةَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِي فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Sunan Ibn Majah – (4/301) al-Hasan bin ‘Ali al-Khalal menceritakan kepada kami, ‘Abdurrazak menceritakan kepada kami, Ibn Abi Sabrah menyampaikan kepada kami dari Ibrahim bin Muhammad dari Mu’awiyah bin ‘Abdillah bin Ja’far dari ayahnya dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Apabila datang malam nishfu sha’ban (pertengahan bulan Sya’ban), maka lakukanlah sholat di malamnya, dan berpuasalah di siang harinya. Sebab Allah tabaroka wa ta’ala turun ke langit dunia pada waktu terbenamnya matahari, dan berkata: Adakah orang yang meminta ampunan sehingga Aku akan mengampuninya. …(HR Ibn Majjah)
Hadist ini diriwayatkan Imam Ibn Majjah dalam Sunannya hadist no. 1388. Akan tetapi para ulama hadist menegaskan bahwa hadist ini dhaif jiddan (lemah sekali) atau bahkan maudlu (palsu). Dalam jalur sanadnya ada Abu Bakr bin Abdullah bin Muhammad bin Ibn Abi Sabrah. Para ulama menuduhnya telah memalsukan hadist. Imam Ahmad, Imam Ibn Hibban, Imam al-Hakim dan Ibn ‘Adli menuduhnya sebagai pemalsu hadist, sebagaimana disebutkan dalam Tahdzib at-Tahdzib. Menurut Imam al-Mundziri, hadist tersebut dhaif. Demikian pula menurut al-Bushairy dalam Kitab Zawaid Ibn Majjah. Kesimpulan hadist tersebut dhaif (lemah) atau bahkan maudhu (palsu). Wallahu a’lam bishawab. (Dinukil dari Bagaimana Memahami Hadist Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam karya DR. Yusuf Qardhawi, Karisma, Bandung, 1999, lihat Juga Puasa Sunnah Hukum dan Keutamaannya, Karya Usamah Abdul Aziz, Darul Haq, Jakarta, 2004, Hal 62.)
Atau mungkin berkeyakinan bahwa puasa nishfu sya’ban sama dengan puasa selama 120 tahun seperti yang dkatakan oleh hadist palsu berikut:
Ali bin Abi Thalib radliallahu ’anhu bahwa Rasulullah bersabda:
فإنْ أصْبح فِي ذلك اليومِ صائما كانَ كِصيامِ سِتِّينَ سَنَةً مَاضِيَةً و ستين سنة مُسْتَقْبَلَةً
Bila pada hari itu seseorang berpuasa maka ia seperti berpuasa selama enam puluh tahun yang lalu dan enam puluh tahun yang akan datang.
HR Ibn al-Jauzi dalam al-Maudlu’at (hadist-hadist palsu) Hadist ini dikumpulkan oleh Ibn al-Jauzi dalam kitab al-Maudlu’at yaitu kitab memuat hadist-hadist palsu. Jadi hadist di atas MAUDLU atau palsu.
Hadist-hadist berkenaan dengan puasa Nisfu Sya’ban berderajad dlaif/lemah dan maudlu/palsu. Sehingga tidak syah melaksanakan puasa nisfu sya’ban berdasarkan hadist tersebut. Keutamaan puasa nisfu Sya’ban sama dengan puasa pertengahan bulan (puasa putih yaitu tanggal 13, 14, 15) sama dengan keutamaan pertengahn bulan lainnya.

8.        Qiamul Lail pada Malam Nisfu Sya’ban
Shalat alfiyah adalah shalat malam yang dilakukakan pada pertengahan guna menghidup-hidupkan pertengahan Sya’ban. Disebut shalat alfiyah atau shalat seribu karena di dalam shalat malam yang dilakukan dalam 100 rakaat itu dibacakan surat al-Ikhlas seribu kali yaitu setiap rakaatnya membaca surat al-Ikhlas 10 kali.
Adapun hadist-hadist yang berkenaan dengan shalat nishfu sya’ban berdasarkan hadist palsu berikut:
سنن ابن ماجه - (ج 4 / ص 301)حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا ابْنُ أَبِي سَبْرَةَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِي فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Dalam Sunan Ibn Majah (4/301) – Menceritakan kepada kami al-Hasan bin ‘Ali, menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaq menegaskan kepada kami dari Ibn Abi Sabrah dari Ibrahim bin Muhammad dari Mu’awiyah bin ‘Abdillah bin Ja’far dari ayahnnya dari ‘Ali bin Abi Thalib, ia berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: Bila malam pertengahan bulan Sya’ban tiba maka lakukanlah shalat di malamnya dan puasa pada siangnya, karena sesungguhnya Allah turun pada malam itu saat matahari tenggelam ke langit dunia, lalu berfirman: Adakah orang memohon ampun? Maka Aku pasti mengampuninya, Adakah orang yang meminta-minta? Maka Aku pasti memberinya. Adakah orang yang tertimpa musibah? Maka Aku pasti menyelamatkannya. Adakah seperti ini? Adakah seperti ini? Hingga tebit fajar.
Akan tetapi hadist ini dhaif jiddan/lemah sekali. Sisi kelemahan hadist ini pada Ibn Abi Sabrah (beliau adalah Abu Bakar bin Abdillah bin Muhammad bin Ibn Abi Sabrah). Ibn Ma’in mengatakan: Hadistnya sangat lemah. Ibn al-Madini berkata: Dia perwai yang lemah hadistnya. Ibn Adi berkata: mayoritas riwayatnya tidak shahih dan dia termasuk para pemalsu hadist.
الموضوعات - (ج 2 / ص 127) أما طريق على عليه السلام: أنبأنا محمد بن ناصر الحافظ أنبأنا أبو على الحسن بن أحمد بن الحسن الحداد أنبأنا أبو بكر أحمد بن الفضل بن محمد المقرى أنبأنا أبو عمرو عبدالرحمن بن طلحة الطليحى أنبأنا الفضل بن محمد الزعفراني حدثنا هارون بن سليمان حدثنا على بن الحسن عن سفيان الثور عن ليث عن مجاهد عن على بن أبى طالب عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال - ما يملى - ) يا على ( من صلى مائة ركعة في ليلة النصف، يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب وقل هو الله أحد عشر مرات قال النبي صلى الله عليه وسلم: يا على ما من عبد يصلى هذه الصلوات إلا قضى الله عز وجل له كل حاجة
Dalam Kitab al-Maudlu’at karya Ibnul Jauzi (2/129) – melaui jalur Ali ‘alaihis-salam: Muammad bin Nashir al-Hafidz – Abu Ali al Hasan bin Ahmad bin al-Hasan al-Hadad – Abu Bakar bin al-Fadhl bin Muhammad al-Mukri – Abu Amru ‘Abdurrahman bi Thalhah al-Thalihi – al-Fadhl bin Muhammad al-Za’farani – Harun bin Sulaman – Ali bin al-hasan dari Sufyan ats-Tsauri dari Laits dari Mujahid dari Ali bin Abi Thalib dari Nabi shalallahu ‘aialihi wa salam, bahsanya beliau bersabda: Wahai ‘Ali. Siapa yang shalat seratus rakaat dalam malam nishfu (pertengahan sya’ban), dengan membaca pada setiap rakaatnya dengan al-Fatihah dan ‘qul huwallahu ahad seratus kali? Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam: Wahai ‘Ali tidaklah dari seorang hamba melakukan shalat dengan shalat ini kecuali Allah ‘aza wa jala akan memenuhi baginya seluruh keperluannya.
Ibnul Jauzi menuliskannya dalam al-Maudhu’at karena keyakinannya bahwa hadist ini maudhu’/palsu. Ibnul Qayyim dalam al-Manarul Munif (hal 98-99) berkata: Diantara contoh hadist-hadist maudhu’ adalah tentang shalat nishfu sya’ban. ... Padahal shalat seperti ini baru disusupkan dalam Islam setelah tahun 400 h ... Imam an-Nawawi dalam Fatawa (hal 26) berkata: Shalat Rajab dan Sya’ban keduanya merupakan bid’ah yang jelek dan munkar.

9.        Mendahului Puasa Ramadhan Satu atau Dua hari untuk Berhati-Hati
Sungguh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam melarang melakukannya.
سنن الترمذي - (ج 3 / ص 109) حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ الْأَشَجُّ حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ عَنْ عَمْرِو بْنِ قَيْسٍ الْمُلَائِيِّ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ صِلَةَ بْنِ زُفَرَ قَالَ كُنَّا عِنْدَ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ ... فَقَالَ عَمَّارٌ مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يَشُكُّ فِيهِ النَّاسُ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dalam Sunnan al-Tirmidzi (3/109) – menceritakan kepada kami Abu Sa’id Abdullah bin Said al-Asyajj mengabarkan kepada kami Abu Khalid al- Ahmar dari Amr bin Qais al-Mulai dari Abi Ishaq dari Shilah bin Zufar, ia berkata: Dulu kami bersama ‘Ammar bin Yasir ... maka ‘Ammar berkata: Barangsiapa puasa pada hari yang manusia ragukan sungguh dia sudah durhaka kepada Abu al-Qasim shalallahu alahi wa salam.
Hari yang manusia ragukan adalah hari sesudah tanggal 29 Sya’ban yaitu ketika saat itu orang-orang ragu-ragu apakah hari itu tanggal 30 Sya’ban ataukah 1 Ramadlan. Islam mengatur hendaknya kita puasa sesudah kita yakin bahwa saat itu sudah tanggal 1 Ramadlan yaitu ditandai terlihatnya hilal pada maghrib. Dan Abu al-Qasim adalah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam. Wallahu a’lam bishshawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar