MENG-QASHAR SHALAT
Oleh: Abu
Faiz Sugiyanta Purwosumarto
Pengertian Qashar dan Safar
Secara termiologi/istilah, qashar berarti menjadikan
shalat-shalat empat rakaat menjadi rakaat saat dalam perjalanan atau safar.
Safar adalah keluar dari kampung halamannya untuk menuju tempat tertentu yang
menempuh jarak tertentu.
Jarak perjalanan sehingga disebut safar
1.
Dianggap sebagai safar bila sudah
keluar dari kota/desa ia tinggal
2.
Dianggap sebagai safar bila sudah
menempuh minimal tiga mil
Hadist Pertama
صحيح البخاري – (ج 6 / ص 191) 1600 –
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: صَلَّى
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا
وَالْعَصْرَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ
Shahih al-Bukhari (6/191) … dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu,
ia berkata, “Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam shalat dzuhur di Madinah empat
rakaat dan shalat ‘ashar di Dzul Hulaifah dua rakaat.
Faidah hadist
Pada saat melakukan suatu perjalanan, Rasulullah mengerjakan
shalat dzuhur empat rakaat ketika masih di Madinah, tetapi saat sampai Dzul
Hulaifah, Rasulullah telah mengqashar atau meringkas shalat ashar menjadi dua
rakaat. Padahal kita maklumi, jarak antara kedua kota tersebut hanya 3 mil
saja.
Hadist kedua
سنن
أبي داود - (ج 3 / ص 437) حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيدَ
الْهُنَائِيِّ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ قَصْرِ
الصَّلَاةِ فَقَالَ أَنَسٌ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ
شَكَّ شُعْبَةُ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ
Musnad Ahmad (24/410) … dari Yahya bin Yazid al-Hunai, ia berkata,
“Aku bertanya pada Anas bin Malik tentang mengqashar shalat.” Maka Anas
berkata, “Dahulu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam apabila keluar
(mengadakan) perjalanan (sejauh) tiga mil atau tiga farsakh - ia
ragu-ragu (apakah mil atau farsakh – penulis), beliau shalat dua rakaat.
Faidah hadist
Bila Rasulullah mengadakan perjalanan telah mencapai tiga mil atau
farsakh, beliau sudah meringkas/mengqashar shalatnya.
Bolehnya mengqashar shalat dalam perjalanan
Meringkas shalat yang terdiri dari empat rakaat menjadi dua rakaat
di dalam perjalanan diperbolehkan berdasarkan
وَإِذَا
ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ
الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ
الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا
[النساء/101]
Dan apabila
kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar
sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya
orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Hukum
mengqashar shalat dalam perjalanan
Seorang
muslimin hendaknya lebih memilih untuk mengqashar shalat daripada mengerjakan
shalat empat rakaat secara sempurna, karena qashar adalah salah satu bentuk
shadaqah Allah kepada kaum muslimin. Dan kita diperintahkan untuk menerima shadaqah-Nya
ta’ala.
Hadist ketiga
صحيح مسلم - (ج 3 / ص 462) حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ
وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا وَقَالَ الْآخَرُونَ
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ ابْنِ
أَبِي عَمَّارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَابَيْهِ عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ
قَالَ: قُلْتُ
لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ {لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنْ الصَّلَاةِ إِنْ
خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ الَّذِينَ كَفَرُوا} فَقَدْ
أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ صَدَقَةٌ
تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ
Shahih Muslim (3/462) … dari Ibn Abi ‘Ammar dari ‘Abdullah bin
Babiyah dari Ya’la bin Umayyah, ia berkata, “Aku bertanya kepada ‘Umar bin
al-Khaththab, “…maka tidaklah mengapa kamu menqashar
sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir…, padahal manusia
dalam keadaan aman?” Maka Umar menjawab, "Aku juga merasa heran
sebagaimana kamu, lalu aku bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
salam tentang hal itu. Beliau menjawab, “Itu adalah sedekah yang disedekahkan
Allah kepadamu, maka terimalah sedekah-Nya"”.
Faidah hadist:
Rasulullah menjelaskan isi ayat 101 surat an-Nisa’ bahwa kebolehan
mengqashar shalat dalam perjalanan saat merasa ketakutan karena serangan musuh
maupun saat merasa aman.
Kapan Diperbolehkan Mengqashar Shalat
Seseorang diperbolehkan mengqashar/meringkas shalatnya saat
bepergian yaitu di luar batas negerinya. Hadist pertama dalam tulisan ini menunjukkan bolehnya mengqashar
shalat setelah keluar dari wilayahnya.
Hadist keempat
صحيح
مسلم - (ج 3 / ص 463) حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَسَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ
وَأَبُو الرَّبِيعِ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا وَقَالَ
الْآخَرُونَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ بُكَيْرِ بْنِ الْأَخْنَسِ عَنْ
مُجَاهِدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ اللَّهُ الصَّلَاةَ عَلَى لِسَانِ
نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَضَرِ أَرْبَعًا وَفِي
السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ وَفِي الْخَوْفِ رَكْعَةً
Shahih Muslim (3/463) … dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhu, dia
berkata, "Allah mewajibkan shalat melalui Nabimu empat rakaat pada waktu hadhar
(tidak berpergian jauh), dua rakaat pada waktu safar (bepergian),
dan satu rakaat pada saat khauf (sedang berperang)."
Faidah hadist:
Orang yang tidak bepergian tidak dibolehkan mengqashar shalat,
adapun orang yang sedang dalam perjalanan diperintahkan mengqashar menjadi dua
rakaat, adapun orang yang sedang berperang mengqashar shalatnya menjadi satu
rakaat.
Berapa Lama Perjalanan Dibolehkan untuk Mengqashar Shalat
Tak ada batasan berapa lama yang membatasi untuk mengqashar
shalat. Ini berdasar hadist-hadist berikut:
Hadist kelima
صحيح البخاري - (ج 4 / ص 223) حَدَّثَنَا
مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عَاصِمٍ
وَحُصَيْنٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
قَالَ:أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَةَ عَشَرَ
يَقْصُرُ فَنَحْنُ إِذَا سَافَرْنَا تِسْعَةَ عَشَرَ قَصَرْنَا وَإِنْ زِدْنَا
أَتْمَمْنَا
Shahih al-Bukhari (4/223) … dari Ibn ‘Abbas radliallahu ‘anhuma,
ia berkata, “Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam menetap (di Makkah) sembilan
belas hari, beliau meringkas shalat, maka kami bila bepergian selama sembilan
belas hari, kami meringkas (shalat), dan bila lebih kami menyempurnakan
(shalat).
Faidah hadist:
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam saat fathul-makkah, berada
di kota Makkah selama Sembilan belas hari, dan beliau tetap mengqashar shalat.
Hadist keenam:
مسند أحمد - (ج 11 / ص 330)حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ قَيْسٍ الْمَأْرِبِيُّ حَدَّثَنَا
ثُمَامَةُ بْنُ شَرَاحِيلَ قَالَ خَرَجْتُ إِلَى ابْنِ عُمَرَ فَقُلْنَا مَا
صَلَاةُ الْمُسَافِرِ فَقَالَ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ إِلَّا صَلَاةَ
الْمَغْرِبِ ثَلَاثًا قُلْتُ أَرَأَيْتَ إِنْ كُنَّا بِذِي الْمَجَازِ قَالَ وَمَا
ذُو الْمَجَازِ قُلْتُ مَكَانًا نَجْتَمِعُ فِيهِ وَنَبِيعُ فِيهِ وَنَمْكُثُ
عِشْرِينَ لَيْلَةً أَوْ خَمْسَ عَشْرَةَ لَيْلَةً قَالَ يَا أَيُّهَا الرَّجُلُ
كُنْتُ بِأَذْرَبِيجَانَ لَا أَدْرِي قَالَ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ أَوْ شَهْرَيْنِ
فَرَأَيْتُهُمْ يُصَلُّونَهَا رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ
Musnad Ahmad (11/330) … Tsumamah bin Syarahil menceritakan kepada
kami, ia berkata, “Kami pergi kepada Ibn ‘Umar, lalu kami bertanya, “Apakah
shalat musafir itu?” Maka ia menjawab, “Dua rakaat, dua rakaat, kecuali shalat
maghrib tiga rakaat.” Aku (Tsumamah) bertanya, “Bagaimana pendapatmu jika kita
berada di Dzul-Majaz?” Ia (Ibn ‘Umar) bertanya, “Apa itu Dzul-Majaz?” Aku
(Tsumamah) menjawab, “Tempat kita berkumpul, berjualan, bermukim di dalamnya
selama dua puluh malam. Maka Ibn ‘Umar berkata, “Wahai kawan, aku pernah di
Azarbaijan.” Tsumamah berkata, “Aku tak ingat, empat bulan atau dua bulan.” Aku
melihat mereka (para sahabat lainnya) menjalanan shalat dua rakaat dua
rakaat.””
Faidah hadist:
‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhuma berdakwah sampai Negara Azarbaijan
selama dua atau empat bulan, dan selama itu pula dia mengqashar shalatnya.
Bila Imam bukan Musafir
Bila Imam bukan musafir atau tidak mengqashar shalatnya, maka
makmum tetap mengikuti imam yaitu empat rakaat.
Hadist ketujuh:
مسند أحمد - (ج 4 / ص 297) 1765 -
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الطُّفَاوِيُّ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ
عَنْ قَتَادَةَ عَنْ مُوسَى بْنِ سَلَمَةَ قَالَ كُنَّا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ
بِمَكَّةَ فَقُلْتُ إِنَّا إِذَا كُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَا أَرْبَعًا وَإِذَا
رَجَعْنَا إِلَى رِحَالِنَا صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ قَالَ تِلْكَ سُنَّةُ أَبِي
الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Musnad Ahmad (7/297) … dari Musa bin Salamah, ia berkata, “Aku
bersama Ibn ‘Abbas di Makkah, lalu aku berkata, “Sungguh bila aku bersama
kalian, kami shalat empat rakaat, dan bila kami kembali ke tenda-tenda kami,
kami shalat dua rakaat.” Ia (Ibn ‘Abbas) berkata, “Itu sunnah Abu al-Qasim
shalallahu ‘alaihi wa salam.”
Kalimat “Sungguh bila aku bersama kalian, kami shalat empat
rakaat” menunjukkan di kala Musa bin Salamah dan Ibn ‘Abbas shalat bersama
orang Makkah, mereka mengerjakan shalat empat rakaat.
Faidah hadist:
Bila musafir menjadi makmum bersama orang-orang setempat, maka ia
harus mengikuti shalat orang setempat yaitu tidak meringkas shalatnya.
Hadist kedelapan
مسند أحمد - (ج 4 / ص 424) 1892 -
حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ هِشَامٍ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ مُوسَى بْنِ
سَلَمَةَ قَالَ قُلْتُ
لِابْنِ عَبَّاسٍ إِذَا لَمْ تُدْرِكْ الصَّلَاةَ فِي الْمَسْجِدِ كَمْ تُصَلِّي
بِالْبَطْحَاءِ قَالَ رَكْعَتَيْنِ تِلْكَ سُنَّةُ أَبِي الْقَاسِمِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Musnad Ahmad (4/424) … dari Musa bin Salamah, ia berkata, “Aku
berkata kepada Ibn ‘Abbas di Makkah, lalu aku berkata, “Sungguh bila aku
bersama kalian, kami shalat empat rakaat, dan bila kami kembali ke tenda-tenda
kami, kami shalat dua rakaat.” Ia (Ibn ‘Abbas) berkata, “Itu sunnah Abu
al-Qasim shalallahu ‘alaihi wa salam.”
Catatan: Abu al-Qasim adalah nama kunyah Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa salam, dan al-Qasim adalah putra sulung beliau.
Faidah Hadist
Seorang musafir yang menjadi makmum orang mukim (bukan musafir),
maka shalatnya mengikuti orang mukmim yaitu tidak meringkas shalatnya.
Bila Musafir Mengimami Shalat Orang-orang Mukim
Bila musafir mengimami shalat orang-orang mukim, maka Imam dan
musafir meringkas shalat sementara itu orang-orang mukim menyempurnakan shalat
atau tidak meringkas shalatnya.
Hadist/atsar kesembilan
موطأ مالك - (ج 1 / ص 458) حَدَّثَنِي
يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ
أَبِيهِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ
إِذَا قَدِمَ مَكَّةَ صَلَّى بِهِمْ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَقُولُ يَا أَهْلَ
مَكَّةَ أَتِمُّوا صَلَاتَكُمْ فَإِنَّا قَوْمٌ سَفْرٌ
Muwatha Malik (1/458) … dari Salim bin ‘Abdullah dari ayahnya
bahwa ‘Umar bin al-Khaththab dahulu bila tiba di Makkah, ia (mengimami) shalat
dengan (penduduk Makkah) dua rakaat, kemudian berkata, “Wahai penduduk Makkah,
sempurnakanlah shalat kalian, karena sesungguhnya kami ini adalah musafir.”
Faidah hadist/atsar
Bila musafir menjadi imam shalat, maka ia dan musafir lainnya
tetap mengqashar shalatnya, sementara orang-orang mukim tetap menyempurnakan
shalatnya.
Tidak Perlu Mengerjakan Shalat Rawatib
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bila bepergian tidak
mengerjakan shalat nafilah.
Hadist kesepuluh
صحيح
مسلم - (ج 3 / ص 466) 1112 - و
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ
حَفْصِ بْنِ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ صَحِبْتُ
ابْنَ عُمَرَ فِي طَرِيقِ مَكَّةَ قَالَ فَصَلَّى لَنَا الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ
ثُمَّ أَقْبَلَ وَأَقْبَلْنَا مَعَهُ حَتَّى جَاءَ رَحْلَهُ وَجَلَسَ وَجَلَسْنَا
مَعَهُ فَحَانَتْ مِنْهُ الْتِفَاتَةٌ نَحْوَ حَيْثُ صَلَّى فَرَأَى نَاسًا
قِيَامًا فَقَالَ مَا يَصْنَعُ هَؤُلَاءِ قُلْتُ يُسَبِّحُونَ قَالَ لَوْ كُنْتُ
مُسَبِّحًا لَأَتْمَمْتُ صَلَاتِي. يَا ابْنَ أَخِي إِنِّي صَحِبْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي السَّفَرِ فَلَمْ يَزِدْ
عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ وَصَحِبْتُ أَبَا بَكْرٍ فَلَمْ
يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ وَصَحِبْتُ عُمَرَ فَلَمْ
يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ ثُمَّ صَحِبْتُ عُثْمَانَ
فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ وَقَدْ قَالَ اللَّهُ { لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ }
Shahih Muslim (3/466) … ‘Isa bin Hafsh bin 'Ashim bin ‘Umar bin
al-Khaththab dari ayahnya, dia berkata, "Aku pernah menyertai Ibnu Umar
radliallahu ‘anhu dalam perjalanan ke Makkah.” Dia berkata, “Dia mengimami kami
shalat dhuhur dua rakaat, lalu pergi dan kami pun mengikutinya pergi, sampai
dia mendatangi tempat kendaraanya. Lalu dia duduk dan kami pun duduk
bersamanya, tiba-tiba dia menoleh ke arah di mana dia telah melakukan shalat.
Di sana dia melihat orang-orang berdiri, kemudian dia bertanya, “Apa yang akan
mereka lakukan?” Aku menjawab, “Mereka akan melakukan shalat sunah.” Dia
berkata, “Kalau aku harus shalat sunah (sesudah qashar), niscaya aku
sempurnakan shalatku empat rakaat. Hai kemenakanku! Sungguh aku telah menemani
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam dalam bepergian, beliau tidak pernah
shalat lebih dari dua rakaat sampai dia wafat. Aku pernah menemani Umar radliallahu
‘anhu dalam perjalanan, dia pun tidak pernah shalat lebih dari dua rakaat
sampai dia wafat. Aku juga pernah menemani Utsman dalam perjalanan, dia pun
tidak pernah shalat lebih dari dua rakaat sampai dia wafat. Sedangkan Allah
telah berfirman, "Sungguh pada diri Rasulullah SA W terdapat suri
tauladan yang baik bagimu. " (Qs. Al Ahzaab (33): 21-penulis)
Faidah hadist
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam, ‘Umar bin al-Khaththab,
‘Usman bin ‘Affan, Ibn ‘Umar radliallahu ‘anhum bila sedang melakukan perjalanan,
ia selalu meringkas shalatnya dan mengerjakan shalat rawatib.
Hadist kesebelas
سنن أبي داود - (ج 5 / ص 259) 1629 -
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ يَعْنِي ابْنَ
بِلَالٍ ح و حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ
الثَّقَفِيُّ الْمَعْنَى وَاحِدٌ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ
بِأَذَانٍ وَاحِدٍ بِعَرَفَةَ وَلَمْ يُسَبِّحْ بَيْنَهُمَا وَإِقَامَتَيْنِ
وَصَلَّى الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ بِجَمْعٍ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتَيْنِ
وَلَمْ يُسَبِّحْ بَيْنَهُمَا
Sunan Abu Dawud (5/259) … dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya
bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam mengerjakan shalat dzuhur dan ‘ashar
dengan sekali adzan di Arafah, dan tidak mengerjakan shalat di antara keduanya,
dan (dengan) dua iqamat, dan beliau mengerjakan shalat maghrib dan ‘isya secara
jamak dengan sekali adzan dan dua iqamat dan tidak mengerjakan shalat sunat di
antara keduanya.
Faidah hadist:
Rasulullah dan para sahabat saat menunaikan ibadah haji saat di
‘Arafah menjamak (juga meringkas) dua shalat dengan mengumandangkan sekali
adzan dan dua kali iqamat, yaitu iqamat lalu dzuhur/maghrib, lalu iqamat lagi
lalu mengerjakan ‘ashar/‘isya, beliau juga tidak mengerjakan shalat sunat di
antara keduanya.
Catatan penting: Adzan disunnahkan tetap dikumandangkan walaupun seseorang shalat
sendirian, demikian juga iqamah
Menjamak Sekaligus Mengashar Shalat
Bila dalam perjalanan waktu terasa sempit karena kesibukan atau
urusan, kita diperbolehkan menjamak dan mengqashar shalat. Tetapi selama belum
melakukan perjalanan atau masih berada di kampong atau desanya, kita hanya
boleh menjamak saja dan dilarang mengqashar shalat. Hadist kesebelas
menerangkan hal ini.
Jadi kalau kita sibuk karena urusan atau hendak bepergian atau
kita belum boleh mengqashar shalat tetapi boleh menjamak dua shalat dengan cara,
misalnya menjamak shalat maghrib dan ‘isya, adzan lalu iqamat lalu mengerjakan
maghrib tiga rakaat, lalu iqamat, lalu mengerjakan shalat ‘isya empat rakaat.
Dan jika kalau kita sibuk karena urusan dan sedang dalam perjalanan
atau sedang bepergian atau kita boleh mengqashar shalat dan menjamak dua shalat
dengan cara, misalnya menjamak shalat maghrib dan ‘isya, adzan lalu iqamat lalu
mengerjakan maghrib tiga rakaat, lalu iqamat, lalu mengerjakan shalat ‘isya dua
rakaat.
Ditulis di Paras Banjarasri Kalibawang Kulon Progo pada tanggal 18
April 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar