Merayakan Ulang Tahun Ala Nabi Muhammad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa ahlihi wa salam
oleh: Sugiyanta, S.Ag, M.Pd
Ternyata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam mempunyai cara tersendiri untuk memperingati hari kelahirannya. Bukan dengan mengundang teman, lalu meniup lilin sambil diiringi lagu Selamat Ulang Tahun atau Happy Birthday, tidak pula dengan berdansa, tidak pula mentraktir teman, tidak pula memberi hadiah atau menerima hadiah.
Beliau shalallahu ‘alaihi wa salam merayakan dengan cara yang unik yang jauh berbeda dengan yang terjadi pada zaman ini. Tetapi Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam merayakan dengan berpuasa sunnah. Imam Ibn Hajar al-Asqalani dalam Kitabnua yang berjudul Bulughul Maram pada hadiat yang ke-698 menyebutkan:
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ اَلْأَنْصَارِيِّ رضي الله عنه ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ. قَالَ: يُكَفِّرُ اَلسَّنَةَ اَلْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ , وَسُئِلَ عَنْ صِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ. قَالَ: يُكَفِّرُ اَلسَّنَةَ اَلْمَاضِيَةَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ اَلِاثْنَيْنِ, قَالَ: ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ, وَبُعِثْتُ فِيهِ, أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abu Qotadah al-Anshory Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam perna ditanya mengenai puasa hari Arafah, lalu beliau menjawab: "Ia menghapus dosa-dosa tahun lalu dan yang akan datang." Beliau juga ditanya tentang puasa hari Asyura, lalu beliau menjawab: "Ia menghapus dosa-dosa tahun yang lalu." Dan ketika ditanya tentang puasa hari Senin, beliau menjawab: "Ia adalah hari kelahiranku, hari aku diutus, dan hari diturunkan al-Qur'an padaku." Riwayat Muslim.
Begitulah ajaran Islam, tak ada pesta dalam memperingati hari kelahiran. Kita didik anak-anak kita, adik-adik kita seperti yang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam contohkan. Wallahu a’lam bi shawab.
Assalamu 'alaikum. Ayo beri saran tentang blok kami
BalasHapustad,blog ustad bagus,,salam ukhuwah
BalasHapussubhanallah,sungguh tiada yg lbh mulia perbuatan manusia di dunia ini kecuali apa yg dilakukan baginda Rasulullah Saw.. smoga qt dapat meniru perbuatan beliau, dan menjadikan hari ulang tahun dan hari-hari lainnya menjadi lebih bermanfaat.. :)
BalasHapusPertama, Benar Nabi pernah bersabda demikian, akan tetapi beliau tidak pernah memerintahkan hal ini kepada para sahabatnya dan kaum muslimin untuk merayakan hari lahir mereka dengan berpuasa. Jadi ini adalah kekhususan Nabi. Tidak ada satupun contoh dari para sahabat atau himbauan para ulama agar setiap diri kaum muslimin berpuasa di hari kelahirannya.
BalasHapusKedua: Jawaban Beliau ditujukan kepada sahabat generasi terbaik umat ini. Akan tetapi tidak ada satupun para sahabat yang memahaminya dengan tafsiran merayakan hari kelahiran mereka masing-masing untuk setiap muslim. Demikian pula tidak ditemukan tafsir atas hadits di atas dari mereka dan ulama kaum muslimin sebagai perintah untuk merayakan ulang tahun.
Ibnu ‘Abdil Hady asy-Syafi'i rahimahullah berkata,
“… dan tidak boleh memunculkan penafsiran terhadap suatu ayat atau sunnah dengan penafsiran yang tidak pernah ada di zaman para ulama salaf, yang mereka tidak diketahui dan tidak pernah pula mereka jelaskan kepada ummat. Karena perbuatan ini mengandung (tudingan) bahwa mereka tidak mengetahui kebenaran, lalai darinya. Sedang yang (dianggap) mendapat hidayah kepada kebenaran itu adalah sang pengkritik yang datang belakangan, maka bagaimana lagi jika penafsiran itu menyelisihi dan bertentangan dengan penafsiran mereka ?!.” [ash-Sharimil Munky fir Roddi ‘alas Subky, h. 427]
Ketiga, Kita katakan kepada mereka, “Hadits ini tertuju kepada para sahabat?! Lantas kenapa mereka semua tidak pernah merayakan hari kelahiran mereka (yang berulang setiap pekan) atau merayakan ulang tahun (yang berulang setiap tahun) sebagai bentuk pengamalan bagi hadits ini?! Kenapa juga beliau tidak pernah memerintahkan para sahabat dan keluarga beliau untuk melakukannya?! Padahal beliau adalah orang yang paling bersemangat mengajari manusia dengan perkara bermanfaat yang mendekatkan manusia kepada Allah.”
Keempat, Benar, beliau berpuasa pada hari Senin yang berulang setiap bulan sebanyak empat kali. Akan tetapi Nabi tidak pernah berpuasa pada tanggal kelahiran beliau, yaitu 12 Rabi’ul Awwal yang berulang satu tahun sekali -(Itupun tidak ada kepastian tanggal kelahiran beliau)-
Kelima, Beliau juga tidak pernah mengkhususkan mengerjakan amalan-amalan tertentu pada tanggal kelahirannya setiap tahunnya. Ini adalah bukti yang menunjukkan bahwa beliau tidaklah menganggap tanggal kelahiran beliau lebih utama daripada yang lainnya. [Lihat ar-Raddul Qowy h. 61-62]
Keenam, Nabi tidak mengkhususkan berpuasa hanya pada hari Senin saja akan tetapi beliau juga merangkainya dengan berpuasa pada hari Kamis, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah r secara marfu‘: “Amalan-amalan disodorkan setiap hari Senin dan Kamis, maka aku senang jika amalanku disodorkan sedang saya dalam keadaan berpuasa”. [HR. at-Tirmidzy no. 747,dishahihkan al-Albany dalam al-Irwa` no. 949]
Jadi, berdalil dengan puasa hari Senin untuk membolehkan perayaan ulang tahun adalah puncak takalluf (pemaksaan) dan pendapat yang sangat jauh dari kebenaran.
Ketujuh, Jika yang diinginkan dari perayaan ulang tahun adalah sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah Ta’ala atas nikmat kelahiran, maka yang lebih masuk akal adalah kalau pelaksanaan kesyukuran tersebut sesuai dengan pelaksanaan kesyukuran Nabi atasnya, yakni dengan berpuasa. Oleh karena itu, hendaknya kita berpuasa sebagaimana beliau berpuasa, yaitu berpuasa pada hari kelahiran kita sebagaimana Nabi . Bukan malah dengan makan-makan, menghambur-hamburkan uang untuk acara seremonial, atraksi dan yang semisalnya.
Akan tetapi berpuasa pada setiap hari kelahiran kita yang berulang setiap pekan, atau yang berulang setiap tahun maka tidak disyari’atkan karena tak ada dalil yang mengkhususkannya untuk berpuasa, yang ada hanyalah berpuasa pada hari Senin dan Kamis.
Bila kita telusuri, perayaan ulang tahun kelahiran atau natal ternyata telah ada sejak zaman dahulu bahkan sejak masa kejayaan Romawi dan Persia.
BalasHapus"The ancient world of Egypt, Greece, Rome and Persia celebrated the birthdays of gods, kings, and nobles... Although the ancient Israelis kept records of the ages of their male citizens, there is no evidence that they had any festivities on the anniversary of the birth date. "[Encyclopedia Americana, 1991; Lihat juga http://en.wikipedia.org/wiki/Talk%3ABirthday].
"History of celebration of birthdays in the West It is thought that the large-scale celebration of birthdays in Europe began with the cult of Mithras, which originated in Persia but was spread by soldiers through-out the Roman Empire. Before this, such celebrations were not common; and, hence, practices from other con-texts such as the Saturnalia were adapted for birthdays. Because many Roman soldiers took to Mithraism, it had a wide distribution and influence throughout the empire until it was supplanted by Christianity.” [Wikipedia. Birthdays. July 12, 2007 version; Lihat juga "The Christmas Celebrations In December: Are They Right or Wrong?" di www.jesuswordsonly.com/Recommended-Reading/christmas-celebrations-right-or-wrong.html ; juga di wiki.answers.com/Q /What_is_the_history_of_birthday_party ].
Rupanya orang Kristen dan Barat mengadopsi perayaan ulang tahun kelahiran ini dari ritual pagan pada masa Romawi Kuno. Mereka ini ternyata menyonteknya dari ritual peribadatan pagan Persia pada hari ulang tahun dewa matahari Mithra.
Fakta yang lebih mengejutkan lagi ternyata ribuan tahun sebelumnya, Firaun telah merayakan ritual ulang tahun kelahiran ini jauh sebelum Kaisar Herodes merayakannya di Kekaisaran Romawi. Kitab Perjanjian Lama mencatatnya dengan teliti:
Now it came to pass on the third day, which was Pharaoh's birthday, that he made a feast for all his servants; and he lifted up the head of the chief butler and of the chief baker among his servants. Then he restored the chief butler to his butlership again, and he placed the cup in Pharaoh's hand. But he hanged the chief baker (Genesis 40:20-22).
Para Pemuka Agama Kristen Pernah Menentang Peryaan Ultah yang Berasal dari ritual kaum pagan ini:
BalasHapus...you worship with couches, altars, temples, and other service, and by celebrating their games and birthdays, those whom it was fitting that you should assail with keenest hatred. [Arnobius. Against the Heathen (Book I), Chapter 64. Excerpted from Ante-Nicene Fathers, Volume 6. Edited by Alexander Roberts & James Donaldson. American Edition, 1886. Online Edition Copyright © 2005 by K. Knight; Lihat juga: www.cogwriter.com/news/church-history/did-early-gentile-christians-celebrate-birthdays/].
Teolog Katolik abad ke-3, Origen of Alexandria menyuarakan penentangan keras dan tertulis pula di manuskrip-manuskrip suci Kristen dalam untaian kalimat tegas untuk memperingatkan kaum kristiani dari tradisi ulang tahun kelahiran ini: “Sinners alone, not saints, celebrate their birthdays” [“Hanya orang-orang kafir pendosa – bukan orang-orang suci- yang merayakan hari ulang tahun kelahiran mereka”]:
"Origen, glancing perhaps at the discreditable imperial Natalitia, asserts (in Lev. Hom. viii in Migne, P.G., XII, 495) that in the Scriptures sinners alone, not saints, celebrate their birthdays; Arnobius (VII, 32 in P.L., V, 1264) can still ridicule the "birthdays" of the gods." [The Catholic Encyclopedia, published in 1913; Lihat juga Catholic Encyclopedia online di sub Christmas : http://www.catholic.org/encyclopedia/view.php?id=2933].
"Of all the holy people in the Scriptures, no one is recorded to have kept a feast or held a great banquet on his birthday. It is only sinners (like Pharaoh and Herod) who make great rejoicings over the day on which they were born into this world below." [The Catholic Encyclopedia, New York, 1911, Vol. X, page 709-quoting Origen Adamantius of the 3rd century].
Lalu datanglah Paus Liberius memutuskan untuk meleburkan ritual pagan itu ke dalam agama Kristen dengan maksud agar agama Kristen lebih mudah diterima oleh para penyembah berhala di Romawi.
BalasHapus“In 354 A.D., Bishop Liberius of Rome ordered the people to celebrate on December 25. He probably chose this date because the people of Rome already observed it as the Feast of Saturn, celebrating the birthday of the sun.” [Sechrist E.H. Christmas. World Book Encyclopedia, Vol. 3. Field Enterprises Educational Corporation, Chicago, 1966, p. 408-417; Lihat: www.cogwriter.com/news/church-history/ catholic-teachings-on-christmas/ dan www.bible.com/ bibleanswers_result.php?id=168].
“Each year as the days became noticeably shorter in November and December, the Roman citizens feared that the earth may be "dying". With the "return of the sun" at the end of December resulting in longer days, the Romans celebrated the "Feast of the Sol Invictus" (Unconquerable Sun") on December 25. Bishop Liberius of Rome ordered in 354 that all Christians celebrate the birth of the Christ child on that day. Scholars believe that the bishop chose this date so that Christians, still members of an "outlaw religion" in the eyes of the Romans, could celebrate the birth of their Savior without danger of revealing their religious conviction, while their Roman neighbors celebrated another event.” [The Christian Book of Why, by John C McCollister, 1983, ISBN 0-8246-0317-6, Jonathan David Publishers, Inc.Middle Village, New York, 11379, pages 205-206; Lihat juga: www.cogwriter.com/news/church-history/ catholic-teachings-on-christmas/ ].
Maka sejak itu ritual perayaan ulang tahun untuk para dewa berubah menjadi ritual ulang tahun kelahiran Yesus Kristus di dalam agama Kristen, yang dikenal dengan Christmas Day atau Hari Natal.
Perayaan ulang tahun tidak berbeda jauh dengan Valentine’s Day yang juga berasal dari ritual ibadah untuk dewa. Acara ritual ini kemudian dilebur ke dalam agama Kristen untuk kelahiran Yesus sebagai Hari Natal. Lalu orang Kristen dan Barat mengadopsinya menjadi ritual di hari ulang tahun mereka. Akhirnya ditiru pula oleh kaum muslimin sebagai perayaan hari ulang tahun (maulid) Nabi Muhammad dan juga hari ulang tahun mereka.
Maka bukankah pada hakikatnya perayaan ulang tahun adalah peniruan dari ritual ibadah kaum pagan dan kafir yang diadakan sebagai ungkapan kesyukuran kepada dewa, berhala, dan tuhan mereka?
BalasHapusRasulullah pernah mengingatkan:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah : “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Manusia yang mana lagi kalau bukan mereka itu?“ [HR. Bukhari no. 7319, dari Abu Hurairah].
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob, pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?”[ HR. Muslim no. 2669, dari Abu Sa’id Al Khudri].
Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan hadits di atas, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal), dziro (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh liku-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nasrani. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.” [Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim, An-Nawawi, 16/220, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobiy, Cet.-2, 1392H].
Menyerupai (tasyabbuh) orang kafir ini terjadi dalam ibadah, pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh diharamkan berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’) [Lihat penukilan ijma’ dalam Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 1/363, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah, cet-7, 1417 H].
Rasulullah bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” [HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam (Iqtidho‘ 1/269) mengatakan sanad hadits ini bagus, lihat Irwa’ul Gholil no. 1269].
Perayaan ulang tahun tidak saja tasyabbuh tetapi juga pencampuradukan ibadah. Kaum muslimin jika masih mengadopsinya - dibuat se-Islami apa pun - mengingatkan akan ayat di bawah ini:
BalasHapusوَلاَ تَلْبِسُواْ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُواْ الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Janganlah kamu campur-adukkan antara kebenaran dan kebatilan, dan kamu sembunyikan yang benar padahal kamu mengetahuinya.” [QS.Al-Baqarah: 42]
Imam Qatadah dan Imam Mujahid menafsirkan: “Janganlah kamu campur adukkan antara agama Yahudi dan Nasrani dengan Islam.“ [Lih. Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, Al-Qurthubi, 1/233 dan Tafsir Al-Qur’anul Adzhim, Ibnu Katsir, 1/133]
Lagipula, perbuatan mengistimewakan hari kelahiran ini termasuk dalam kategori “Id” yang terlarang. Yakni hari perayaan yang dilakukan secara rutin, baik setiap tahun, setiap bulan, atau setiap pekan dalam rangka ibadah dan taqarrub kepada Allah. Rasulullah menyatakan bahwa ‘Id adalah bagian dari agama. Beliau bersabda:
BalasHapusإن لكل قوم عيدا ، وهذا عيدنا
“Setiap kaum memiliki ‘Id (perayaan) sendiri dan ‘Idul Fithri ini adalah ‘Id kita (kaum muslimin).” [HR. Bukhari no. 952, 3931, Muslim no. 892]
Jelas sekali dalam hadits di atas Rasulullah menyatakan dengan tegas bahwa ‘Id adalah ciri dari suatu kaum. ‘Id yang menjadi ciri dari kaum muslimin adalah ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha, sebagaimana diungkapkan dalam hadits:
الفطر يوم يفطر الناس ، والأضحى يوم يضحي الناس
“‘Idul Fithri adalah hari berbuka puasa, ‘Idul Adha adalah hari menyembelih.” [HR.Timidzi no.802 dishahihkan Al-Albani di Shahih At Tirmidzi.]
Jika ‘Id yang menjadi ciri kaum muslimin adalah hanya ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri, maka ‘Id yang lain adalah ciri dari kaum selain kaum muslimin.
Sebagian orang mungkin belum mau menerima penjelasan bahwa membuat hari-hari perayaan baru selain dua hari raya tersebut adalah terlarang dan termasuk tasyabbuh. Namun kenyataannya Nabi memang secara khusus telah melarang kaum muslimin membuat hari raya (‘Id) baru selain yang telah dicukupkan syariat. Hal ini diceritakan oleh Anas bin Malik :
قدم رسول الله المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال ما هذان اليومان قالوا كنا نلعب فيهما في الجاهلية فقال رسول الله إن الله قد أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الأضحى ويوم الفطر
“Saat Rasulullah tiba di Madinah, warga Madinah memiliki dua hari raya di mana mereka biasa bersenang senang. Rasulullah bertanya, “Perayaan apakah yang dirayakan di dua hari ini?” Warga menjawab, “Di dua hari raya ini, dahulu di masa jahiliyyah kami biasa merayakannya dengan bergembira ria.” Maka Rasulullah bersabda, “Sungguh Allah telah mengganti hari raya kalian dengan yang lebih baik, yaitu Idul Adha dan Idul Fithri.” [HR. Abu Daud, 1134, dihasankan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/119, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abi Daud, 1134]
Dalam riwayat yang lain beliau bersabda:
قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ, وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“Aku datang pada kalian sedang kalian memiliki dua hari raya yang kalian besenang-senang di dalamnya pada masa jahiliyah. Sungguh Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik dari dua hari itu yaitu: Idul Qurban dan Idul Fithri." [Hadits shahih, dikeluarkan oleh Ahmad 3/103,178,235, Abu Daud 1134, An-Nasa'i 3/179 dan Al-Baghawi, 1098]
Hadits di atas menegaskan ‘Id yang dirayakan oleh warga Madinah ketika itu yakni hari raya tahun baru Nairuz (Kristen Koptik) dan tahun baru Mahrajan (Persia), bukanlah hari yang dirayakan oleh warga Madinah untuk ibadah sebagai ungkapan kesyukuran akan tetapi hanyalah untuk turut bergembira-ria dan bersenang-senang. Akan tetapi pada kenyataannya Rasulullah justru melarangnya dengan keras. Maka bagaimana pula bila hal itu terkait ibadah bahkan diadaptasi dari ritual kaum pagan dan kafir seperti perayaan ulang tahun ini? Tentu lebih terlarang lagi!
Bersyukur kepada Allah adalah perkara ibadah yang tidak boleh secara sembarang bisa dirayakan semau-maunya; dan Rasulullah adalah orang yang paling mengerti di dalam perkara ibadah bersyukur ini. Namun begitu, beliau tidak pernah mengajarkan kepada kita tradisi ulang tahun kelahiran ini sebagai salah satu cara mengungkapkan rasa syukur tersebut. Terlebih lagi dengan cara yang diadopsi dari kaum pagan dan kafirin.
BalasHapusPerkara ibadah menurut aqidah dan syariat Islam pelaksanaannya membutuhkan dalil dari nash Al-Qur’an dan as-Sunnah! Hal ini sesuai dengan kaidah:
الأصل في العبادات الحظر ؛ فلا يشرع منها إلا ما شرعه الله ورسوله
Asal hukum dalam ibadah adalah dilarang; maka tidak disyariatkan daripadanya melainkan apa yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. [Ibnu Hajar Al-Asqalani Asy-Syafi’i (w 852 H) berkata di kitabnya Fathul Bari Syarah Shohih Bukhari 3/54 Bab Sholat Dhuha Ketika Safar: الأَصْلُ فِيْ الْعِبَادَةِ التَّوْقِفِ
”Hukum asal dalam (perkara) ibadah adalah tawaqquf (berhenti hingga ada dalil syar’i)”]
Oleh karena itu adalah tidak layak seorang muslim merayakan ulang tahun kelahirannya walau hanya dengan sebutir permen. Atau juga dengan dalih mensyukuri nikmat Allah . Kenapa?
Karena mengungkapkan rasa syukur kepada Rabbul ‘alamin adalah bagian dari ibadah yang pelaksanaannya haruslah diwujudkan dengan cara-cara yang sesuai dengan ketetapan syariat-Nya yang suci. Tidak dengan cara-cara yang berasal dari ritual-ritual kemusyrikan. Allah Ta’ala berfirman:
وَإِن كَادُواْ لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ لِتفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإِذاً لاَّتَّخَذُوكَ خَلِيلاً. وَلَوْلاَ أَن ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدتَّ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئاً قَلِيلاً . إِذاً لَّأَذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لاَ تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيراً
"Dan hampir-hampir mereka itu merusak (keyakinanmu) terhadap ayat-ayat yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar engkau mengadakan kata-kata dusta akan kami (dengan perintah) selain Nya. Selanjutnya (apabila engkau mentaati mereka) pastilah mereka menjadikan dirimu sebagai kekasih. Dan apabila tidak Kami teguhkan (keimananmu) sungguh hampir-hampir engkau condong sedikit kepada mereka. Dan apabila engkau telah condong kepada mereka (orang orang musyrik) itu, Kami timpakan kepadamu siksa yang berlipat lipat di dunia dan siksa yang berlipat-lipat setelah kematian, kemudian engkau tidak akan mendapatkan pertolongan sedikitpun dari Kami." [QS. Al-Isra’ 73-75].
Padahal kita diperintahkan untuk menyelisihi dan menjauhi kebiasaan yang menjadi ciri khas mereka.
Allah berfirman:
وَلاَ تَرْكَنُواْ إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُواْ فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ اللّهِ مِنْ أَوْلِيَاء ثُمَّ لاَ تُنصَرُونَ
"Dan janganlah kamu condong kepada orang-orang yang zalim (kafir) sehingga kamu pasti terbakar api neraka, dan kamu tidak akan mendapatkan penolong selain Allah, kemudian mereka itu pun tidak akan mampu memberikan pertolongan kepadamu." [QS. Hud: 113].
Mensyukuri nikmat Allah sering dijadikan dalih oleh orang untuk merayakan hari ulang tahun. Alhamdulillah, sanggahan atas dalih ini telah saya sampaikan di muka. Saudaraku, mensyukuri nikmat Allah berupa kehidupan, kesehatan, usia panjang, dilakukan setiap saat setiap hari. Ini tidak membutuh-kan perlakuan khusus dengan ritual setahun sekali sebagaimana yang dilakukan kaum pagan dan kafir.
BalasHapusSaudaraku, tidakkah tergolong sifat kikir bilamana nikmat Allah turun setiap saat setiap hari lantas kita malah mensyukurinya setahun sekali?
Demikian juga refleksi diri, mengoreksi apa yang kurang dan apa yang perlu ditingkatkan dari diri kita selayaknya menjadi renungan harian setiap muslim, bukan renungan tahunan. Bukankah kita tidak tahu kapan ajal menjemput kita sehingga kesempatan beramal kita terputus tiba-tiba?!
Maka dari itu alangkah bahagianya kita memiliki Nabi yang telah mengajarkan agar kita bersyukur setiap saat setiap hari baik dengan hati, lisan maupun perbuatan sehingga terhindar dari sifat kikir tersebut.
Adapun bentuk syukur yang dianjurkan untuk diungkapkan setiap saat setiap hari di antaranya:
BalasHapus1.Taat dan taqwa kepada Allah
Allah berfirman:
وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya” [QS.Ali Imran: 123]
2.Banyak menyebut nikmat dari Allah
Allah berfirman: وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan nikmat yang diberikan oleh Rabbmu, perbanyaklah menyebutnya.” [QS. Adh Dhuha: 11]
3.Shalat
Bentuk rasa syukur yang teragung adalah dengan beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutu kan-Nya dengan sesuatu apapun. Allah berfirman: بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ
“Beribadahlah hanya kepada Allah dan jadilah hamba yang bersyukur.” [QS. Az Zumar: 66]
أَنَّ نَبِيَّ اللهِ كَانَ يَقُومُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُولَ اللهِ، وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ؟ قَالَ: أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْدًا شَكُورًا؟
(Dari ‘Aisyah x ia berkata): “Nabi bangun (untuk shalat) di malam hari sampai pecah-pecah kedua kaki beliau. Lalu ‘Aisyah berkata: “Ya Rasulullah, kenapa engkau melakukan ini, padahal Allah telah meng-ampuni dosamu yang telah lewat dan akan datang?” Beliau menjawab, “Apakah aku tidak suka menjadi hamba yang bersyukur?” [HR. Al-Bukhari no. 4660].
4.Sujud Syukur
عن أبي بكرة نفيع بن الحارث قال: كان رسول الله إذا جاءه أمر بشر به خر ساجدا؛ شاكرا لله
“Dari Abu Bakrah Nafi’ Ibnu Harits ia berkata, “Rasulullah biasanya jika menjumpai sesuatu yang menggembirakan beliau bersimpuh untuk sujud. Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah.” [HR.Abu Daud no.2776, dihasankan Al-Albani di Irwa Al-Ghalil.]
5.Berdzikir
BalasHapusAda banyak dzikir yang diajarkan Rasulullah yang khusus untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah . Berikut di antaranya sebagai contoh:
a).Dzikir pagi dan petang; Rasulullah bersabda:
من قال حين يصبح: اللّهُمَّ مَا أَصْبَحَ بِـيْ مِنْ نِعْمَةِ أَوْ بِأَحَدٍ مِنْ خَلْقِكَ فَمِنْكَ وَحْدَكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ، فَلَكَ الْحَمْدُ وَلَكَ الْشُّكْرُ. فقد أدى شكر يومه، ومن قال ذلك حين يمسي فقد أدى شكر ليلته.
“Barangsiapa di pagi hari berdzikir: “Allahumma ashba- ha bii min ni’matin au biahadin min khalqika faminka wah daka laa syariikalaka falakal hamdu wa lakasy-syukru.” (Ya Allah, atas nikmat yang Engkau berikan padaku hari ini atau yang Engkau berikan kepada salah satu dari makhluk-Mu, maka sungguh nikmat itu hanya dari-Mu dan tidak ada sekutu bagi-Mu. Segala pujian dan ucap syukur hanya untuk-Mu) Maka ia telah memenuhi harinya dengan rasa syukur. Dan siapa yang mengucap kannya pada sore hari, ia telah memenuhi malamnya dengan rasa syukur.” [HR. Abu Daud no.5075, dihasankan Syaikh Abdul Qadir Al Arnauth dalam tahqiqnya terhadap kitab Raudhatul Muhadditsin.]
b).Dzikir setelah shalat
اللّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلىَ ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِباَدَتِكَ
“Ya Allah aku memohon pertolonganmu agar Engkau menjadikan aku hamba yang senantiasa berdzikir, bersyukur dan beribadah kepadamu dengan baik.” [ Lihat Shahih Abu Dawud, 1/284. dan An-Nasai 3/53]
6.Qana’ah
Merasa cukup atas nikmat yang ada pada diri kita termasuk bersyukur kepada Allah. Nabi bersabda:
كن ورعا تكن أعبد الناس ، و كن قنعا تكن أشكر الناس
“Jadilah orang yang wara’, maka engkau menjadi hamba yang paling berbakti. Jadilah orang yang qana’ah, maka engkau akan menjadi hamba yang paling bersyukur.” [HR.Ibnu Majah no.4357 dishahihkan Al-Albani di Shahih Ibn Majah].
7.Berterima kasih kepada manusia
Nabi bersabda: لا يشكر الله من لا يشكر الناس
“Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah.” [HR. Tirmidzi no.2081, ia berkata: “Hadits ini hasan shahih.”]
من صنع إليه معروف فقال لفاعله: جزاك الله خيرا فقد أبلغ في الثناء
“Barangsiapa yang diberikan satu kebaikan kepadanya lalu dia membalasnya dengan mengatakan: ‘Jazaakallahu khayr’ (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh hal itu telah mencukupinya dalam menyatakan rasa syukurnya.” [HR.Tirmidzi no.2167,ia berkata:“Hadits ini hasan jayyid gharib.]
Masih banyak lagi bentuk kesyukuran yang bisa diungkapkan setiap saat setiap hari yang diajarkan oleh Nabi . Maka apakah kita akan menengok kepada cara kaum pagan dan kafir sedangkan di sisi kita masih banyak tuntunan Nabi yang agung dan belum kita amalkan?
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAlhamdulillah, sebatas apa yang saya tahu; organisasi Muhammadiyah tidaklah mengenal perayaan ulang tahun seseorang, peringatan maulid nabi ataupun haul kelahiran/kematian seseorang.
BalasHapusJazakumullahu khairan. Nasrun minallahi wa fathun qariib.
Jazakallah, mas Borya Fayyena.
BalasHapusSo..kesimpulan x.... ?
BalasHapus